Memberdayakan Desa Adat, bukan 'Memperdaya'
Pengantar
Perubahan lingkungan politik yang sangat mendasar setelah reformasi, terutama setelah dikeluarkannya paket UU politik (demokratisasi) dan UU no. 22 tahun 1999 (otonomi daerah), menimbulkan pergeseran kerangka paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa adat. Di Bali, pergeseran itu terlihat dari; Pertama, dikeluarkanya Perda no. 3 tahun 2001 tentang Desa Pekraman sebagai pengganti Perda 6 tahun 1986 yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat.
Kedua, adanya sejumlah kosensi ekonomi yang diberikan pemerintah provinsi dan kabupaten kepada desa adat. Misalanya, konsensi ekonomi tersebut berbentuk; Pemerintah provinsi memberikan sepeda motor pada Bendesa Adat; Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengalokasikan 100 juta pada setiap desa adat; Pemerintah kabupaten Gianyar memberikan 20 juta per desa adat; Di Kabupaten Tabanan, pemerintah kabupaten mengikut sertakan desa adat Beraban dalam mengelola obyek wisata tanah Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada desa adat Beraban.
Ketiga, desa adat diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan seharai-hari di tingkat desa. Misalnya, ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
Persoalan obyektif
Namun demikian, harus diakui ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi oleh desa adat di Bali. Persoalan obyektif ini bisa menjadi titik pijak untuk melakukan pemberdayaan desa adat.
A. Otonomi Desa Adat
1. Dualisme pemerintah Desa
Keberadaan desa dinas masih menjadi perdebatan utama di Bali belakangan ini. Ada tiga kelompok pemikiran menyangkut eksistensi desa dinas; Pertama, kelompok pemikiran yang ingin menghapuskan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Solusi yang ditawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukan ke dalam desa adat. Kedua, pemikiran yang tetap ingin mempertahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Pemikiran ketiga adalah ingin mempertegaskan wilayah kewenangan desa adat dan desa dinas.
Selain eksistensi desa dinas, persoalan dualisme pemerintahan desa juga menyangkut keberadaan dusun dan lingkungan. Karena sampai sekarang ini, pengertian Banjar 'jumbuh' dengan dusun dan lingkungan yang merupakan bagian dari desa dinas. Padaal dalam maknanya yang otentik, banjar merupakan bagian dari desa adat.
2. Tata Hubungan Kabupaten- Desa Adat
Selama ini tata hubungan kabupaten dan desa adat belum dirumuskan secara jelas (baik dalam secara kelembagaan maupun keuangan) sehingga kebijakan yang dibangun sangat bersifat ad-hoc dan terkesan politis. Kosensi yang diberikan kepada desa adat bisa dicurigai sebagai budi baik Bupati yang sangat 'rentan' dengan selubung politis.
3. Pengakuan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum
Selama ini dalam tata regulatif (Perda), desa adat diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum serta prajuru memiliki kewenangan untuk menjadi hakim perdamaian desa, namun kedudukan dan kewenangan tersebut harus 'direduksi' oleh dualisme hukum. Karena bagiamanapun disamping mengacu pada hukum adat, setiap warganegara juga berpedoman pada hukum positif. Bahkan ada kecenderungan yang amat kuat, lembaga peradilan bisa mengabaikan atau tidak menggunakan keputusan desa sebagai acuan dalam pengambilan keputusannya. Sehingga akan menimbulkan memperkuat dualisme hukum.
4. Konflik antar desa adat
Muncul fenomena konflik antar desa adat; tidak hanya soal batas wilayah tetapi juga soal klaim tanah-tanah adat. Pola intervensi pemerintah juga seringkali tidak tepat sehingga terjadi eskalasi konflik
5. Awig-awig yang seragam (Pola Penyeragaman)
Awig-awig yang pembuatannya difasilitasi oleh pemerintah dilakukan dalam format yang baku dan seragam. Penyeragaman awig-awig ini membuat format desa di Bali menjadi homogen.
6. Penggunaan Pecalang untuk kepentingan ekonomi dan politik di luar Desa Adat
Pecalang seringkali digunakan untuk kepentingan akumulasi ekonomi (penjual jasa keamanan) maupun untuk kepentingan politik (Satgas Partai).
B. Demokrasi Desa
1. Lemahnya kapasitas kelembagaan desa adat
Demensi teknokrasi dari kelembagaan desa adat masih lemah. Hal ini terlihat dari kopetensi desa adat dalam menjalankan mekanisme kelembagaan. Sehingga struktur kelembagaan tidak bisa berjalan secara fungsional. Struktur yang ada juga jadi bersifat formalistik.
2. Demokrasi Desa adat
Relasi antar elemen di desa adat tidak seimbang. Sudah menjadi sesuatu yang fenomenal bahwasanya pengambilan keputusan/ kebijakan desa adat sangat tergantung pada the big man (orang kuat secara ekonomi, politik, tradisi). Sehingga desa adat membentuk rejimentasi baru.
3. Respon terhadap Pluralisme (Heterogenitas)
Seringkali respon terhadap heterogenitas dilakukan dengan mengambil sikap nativisme dan diskrimianasi terhadap pendatang. Misalnya perlakukan terhadap pendatang tidak sama dengan krama nuwed (asli). Inilah yang kemudian membuat sebagai kalangan ingin tetap memepertahankan konsep desa dinas.
4. Governance Desa Adat
Salah satu yang menjadi persoalan adalah transpransi dan akuntabilitas lembaga desa adat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Akuntabilitas menjadi agenda penting karena beberapa tempat muncul protes terhadap prajuru karena dianggap tidak transparan dalam mengelola dana.
5. Konflik Desa Adat dengan kelompok-individu
Beberapa kasus Kesepekan (dikucilkan) terjadi akibat tidak diselesaikannya konflik antara desa adat dengan sebuah kelompok atau individu. Persoalan pertama adalah bagaimana menempatkan posisi individu-kelompok dalam kolektivisme desa adat. Persoalan kedua adalah belum ditemukan mekanisme konflik yang memuaskan untuk menangani soal ini. Intervensi negara seringkali problematik, karena akan dibawa ke penyelasaian hukum. Hukum tetap menghasillkan kalah dan menang.
Strategi Pemberdayaan
Kata pemberdayaan desa adat merupakan sebuah istilah yang 'latah' diucapkan dalam berbagai kesempatan. Namun, pemberdayaan desa adat tidak akan bermakna kalau tidak dicapai dua hal; Pertama, rumusan substantif dari kata pemberdayaan itu sendiri, seperti; apa yang diberdayakan ? Seperti apa pemberdayaan itu harus dilakukan ? Strateginya seperti apa ? Siapa yang terlibat dalam pemberdayaan itu? Kedua, rumusan substansi pemberdayaan harusnya dirumuskan secara partisipatif oleh masyarakat.
Antara substansi dan proses merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Secara, substansi pemberdayaan desa adat seringkali sudah menjadi "taken for granted" karena mengikuti pola-pola instruksional dari atas. Hal ini menyebabkan versi pemberdayaan adalah versi pemerintah, bukan versi masyarakat adat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan pemberdayaan desa adat yang substansinya ditentukan bersama-sama dengan masyarakat adat.
Substansi pemberdayaan desa adat bisa dilakukan melalui berbagai titik masuk, namun berdasarkan persoalan obyektif yang teridentifikasi di atas, substansi pemberdayaan desa adat meliputi; Pertama, penguatan otonomi desa adat melalui;
a. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dan desa dinas
b. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dengan Kabupaten
c. Pengakuan Hukum dan Pengadilan Adat
d. Mekanisme penyelesaikan konflik antar desa adat melalui pembentuk lembaga supra desa adat
e. Politik Kebudayaan yang menghargai keunikan setiap desa adat (desa mawa cara) tetapi ada beberapa yang diatur sama untuk menjamin kepastian seperti masalah pendatang
f. Reformulasi dan Rekonseptualisasi Pacalang
Kedua, pemberdayaan internal Desa Adat
a. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa adat
b. Demokratisasi desa adat
c. Semangat pluralisme di desa adat yang tercermin di awig-awig
d. Good Governance di desa adat
e. Mekanisme penyelesaian konflik yang humanis
Penutup
Tentusaja harus diakui akan dijumpai berbagai macam persoalan serta kerangka strategi yang belum disampaikan, namun melalui diskusi ini setidaknya dapat dieksplorasi kembali isu-isu strategis yang kemudian bisa dijadikan pijakan untuk merumuskan strategi pemberdayaan. Sehingga, dijumpai makna otentik dari pemberdayaan, tidak kemudian menjadi 'arena' memperdaya desa adat.