Bendesa Adat Berbicara
Memasuki era tahun 2003 Desa adat di kabupaten Gianyar ternyata tidak cukup hanya bergulat dengan masalah adat, semacam kasepekang, hukum waris dan parahyangan saja. Mulai urusan administratif hingga struktural pemerintah yang semula menjadi tugas desa dinas semisal kependudukan, masalah sosial, bahkan pengembangan potensi ekonomi desa pun harus ditanganinya. Begitu juga urusan investor yang menutup tempat publik, batas desa adat yang bermasalah hingga pentingnya lembaga kerjasama antar desa adat tidak lepas dari bidikan para bendesa adat. Akibatnya, masalah - masalah yang muncul dan menjadi tanggungjawab desa adat menumpuk dan semakin berat saja dengan kewenangan masih belum jelas. Persoalan - persoalan ini muncul dan mengemuka menjadi isu strategis bersama desa adat yang tercetus dalam acara "Temu Wirasa bendesa adat se-Kabupaten Gianyar, 26 Januari - 6 Februari 2003" yang diselenggarakan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta.
Hampir seluruh utusan bendesa adat di tujuh kecamatan kabupaten Gianyar (Ubud, Tegalalang, Payangan, Tampaksiring, Gianyar, Blahbatuh dan Sukawati) secara terpisah dan kesempatan yang berurutan bertemu dalam acara Temu Wirasa Bendesa Adat. Acara ini diselenggarakan oleh IRE Yogyakarta bekerjasama dengan pemerintah kecamatan se kabupaten Gianyar, Dinas Kebudayaan Gianyar, Komunitas Ulu Angkep dan Banjar Bali. Dalam acara yang mempergunakan metode partisipatif-dialogis, terungkap betapa besarnya harapan dari para Bendesa Adat terhadap kemandirian dan kerjasama antar desa adat. Mendesaknya kebutuhan untuk membangun dan memiliki forum lintas desa adat sangat penting dirasakan keberadaannya untuk menggalang kerjasama antar desa adat dalam menghadapi kompleksitas permasalahan yang dihadapi desa adat dimasa mendatang secara bersama - sama.
Seperti yang disampaikan oleh AA.GN. Ari Dwipayana, peneliti IRE, "Ada kecenderungan desa adat menjadi over otonom di wilayahnya. Situasi semacam ini sangat menyulitkan dalam mengantisipasi dan memecahkan persoalan - persoalan bersama yang muncul, mulai dari konflik antar desa adat, pengaturan pendatang maupun investor di wewengkon desa ". Dalam perkembangan ekonomi pariwisata Bali yang intensif dan eskalatif, persoalan penduduk pendatang tidak hanya mengemuka di perkotaan saja, malah sudah menjadi permasalahan di desa-desa. Untuk melaksanakan pengaturan terhadap investor serta masalah kependudukan inilah para bendesa adat memandang perlu dibangun kerjasama antar desa adat. Soal besarnya pungutan atau uang jaminan, misalnya, melalui kerjasama dapat ditetapkan standardisasi besarnya nilai pungutan. Upaya ini setidaknya akan bisa mencegah jangan sampai terjadi perpindahan penduduk dari desa adat satu ke desa adat lain karena tidak kuasa menanggung beban finansial yang tinggi. "Kami sangat tergantung pada para bendesa yang akan membantu menyelesaikan masalah ini" pinta Camat Ubud, IB. Ngurah Gede dalam pembukaan Temu Wirasa di Kecamatan Ubud di Museum Arma Ubud (26/1).
Penanganan masalah kependudukan selama ini belum ada keseragaman antara desa adat, memang. Masing-masing desa adat mengenakan biaya dan syarat yang berbeda. Kasus di daerah Tangun Titi Denpasar, adalah contoh dampak negatif yang ditimbulkan akibat perbedaan biaya kependudukan tersebut. Biaya yang relative tinggi Rp 250.000,- per individu untuk pembuatan Kartu Identitas Penduduk (KIP) memaksa salah seorang warganya pindah tempat ke daerah lain di Kuta yang hanya mengenakan biaya Rp 10.000,- per orang.
Perbedaan jumlah pendatang agaknya menjadi alternative utama penetapan biaya administrasi pendatang. Desa adat Pongkang kecamatan Payangan hanya mengenakan biaya Rp 15.000 (luar Bali) dan Rp 5000,- (Bali). Lain halnya dengan Desa adat Lodtunduh, Kecamatan Ubud. Di desa pengerajin ini, biaya administrasi dikenakan kepada para penduduk yang menjamin keberadaan pendatang. Biayanya Rp 250.000,- tanpa membedakan asal daerahnya. "Setiap orang punya hak untuk berusaha di seluruh daerah di Indonesia, termasuk Bali. Ini konsekuensi sebagai bagian dari negara kesatuan. Kita jangan menjadi raja kecil. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan bersama mengatur pendatang" saran bendesa adat Taman Kaja Ubud, Sarna. Ide yang sama disampaikan bendesa adat Pongkang, Lebah dan Penginyahan Tampaksiring. "Kami sudah mengaturnya dalam perarem khusus. Akan tetapi rencana kami tidak akan berhasil lancar tanpa bantuan desa adat yang lain. Terutama bagi krama yang berada di daerah perbatasan desa" imbuh Wiryastra, wakil dari desa adat Ubud.
"Saya kurang setuju jika dilakukan keseragaman. Karena menyangkut kewajiban yang berbeda antara satu desa adat dengan yang lain. Kondisi daerah pun berbeda" tegas Putra, bendesa adat Penestanan. Di desa adat yang baru memelaspas awig-awignya 12 Februari nanti, ada kecenderungan masyarakat sendiri yang melindungi keberadaan pendatang. Terkadang ditutup-tutupi. "Seakan-akan kami prajuru mendata jumlah pendatang untuk kepentingan mengumpulkan uang saja. Padahal uang itu diperlukan untuk menjamin keamanan mereka selama tinggal di palemahan dengan melakukan upacara yadnya." keluhnya.
Kegamangan sikap desa adat dalam menangani masalah kependudukan tersirat dalam beberapa keluhan lain yang disampaikan bendesa adat. "Apakah dana yang terkumpul nanti masuk ke kas desa adat atau dinas?" bimbang bendesa adat Lebah. "Terus terang saya menangani masalah parahyangan saja sudah kewalahan, apalagi harus ditambah dengan administrasi kependudukan. Jumlah krama saya sangat besar. Lebih baik jika yang melakukan pendataan pendatang itu masing-masing kelian banjar dengan tetap berkoordinasi dengan bendesa adat. Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terutama di pintu masuk seperti pelabuhan. Perlu ketegasan tugas antara bendesa adat dan kelian banjar" tegas Sarna, Bendesa adat Taman Kaja.
Bahkan di Desa Puakan, Tegalalang, lebih ekstrim lagi dalam menyikapi keberadaan pendatang. Awig-awignya menyebutkan di wewidangan desa adat Puakan tidak dibenarkan krama non Hindu menempati wilayahnya, meskipun sejak dulu sudah ada krama non Hindu yang tinggal. Ada kebimbangan prajuru menyikapi kondisi riil dengan keberadaan awig-awig desa adatnya.
Urusan Kipem ini dinilai akan menjadi bom waktu yang siap meletus bagi masyarakat Bali. "Masalah kependudukan ini harus dilihat sebagai masalah Bali. Bukan desa adat satu dengan yang lain. Jika sampai penduduk luar Denpasar mengenakan biaya yang sama bagi penduduk Denpasar, masuk ke Pura Besakih dikenakan biaya, ini adalah potensi konflik yang sangat tinggi bagi Bali. Seperti balon karet, yang jika satu ditekan, maka bagian yang lain akan meletus. Sehingga, hal ini harus digiring menjadi masalah kita bersama, jangan diserahkan kepada desa adat sendiri" saran Ketut Sumarta, penyampai makalah dalam temu wirasa ini.
Adanya dualisme pemerintahan di desa ternyata masih menyisakan masalah bagi desa adat. Batas desa, contohnya. Tidak jelasnya batas wilayah terjadi antar dua desa adat atau antara desa adat dengan desa dinas diakibatkan karena masing-masing mempunyai teritorial sendiri. Antara desa dinas dengan desa adat dalam cakupan wilayah yang sama, kadang-kadang mempunyai wilayah yang tidak sama. Contoh, wilayah kelurahan Ubud dengan Desa adat Peliatan. Ada desa adat di Kelurahan Ubud yang medalem di Dalem Puri. Selain itu, ada banjar adat di Padang Tegal yang masuk kelurahan Ubud, akan tetapi medalem ke Peliatan. "Karena menyangkut kepentingan ekonomis dan pendapatan, daerah batas ini menjadi semakin sulit ditentukan" nilai beberapa bendesa adat di kecamatan Ubud. "Di sekeliling batas desa yang dulu persawahan kini ada bangunan milik orang asing. Saya tidak tahu batas yang jelas. Sehingga saling klaim dengan desa adat yang lain. Para penglingsir kami hingga kini juga belum bisa memberikan batasan yang jelas" tegas Wayan Suka, bendesa adat Klabang Moding.
Desa adat Teges Kanginan, Gentong dan Abangan juga masih mempunyai masalah dengan batas desanya. Batas desa yang selama ini digunakan membuat dua daerahnya yaitu Sekar Embang (penyungsungan Gunung Sari) dan Hotel Maya masuk Peliatan. "Ini menyebabkan warga saya bertempat saling seluk. Ada warga saya di Teges kanginan masuk wilayah di Tengkulak, warga Tengkulak ada di Teges Kanginan. Kalau itu diterapkan seperti sekarang, krama tiang dua negen adat. Jika sudah negen adat, akan makin sulit.
Kebetulan desa adat Tengkulak dan Teges Kanginan, Peliatan berbeda jauh adatnya. Saya sudah mohon kepada kepala desa dan instansi terkait agar menentukan batas yang jelas sehingga krama kami tidak sampai mebanjar ganda" harap Tuarsa, bendesa adat Teges Kanginan. Desa adat Abangan juga menghadapi permasalahan tidak jelasnya batas desa antara Klabang Moding dan Penesuan. Begitu juga halnya dengan desa adat Gentong yang tidak jemu-jemunya meminta bantuan instansi terkait dalam menentukan batas wilayahnya. Bahkan dalam setiap pertemuan. Namun belum juga menuai hasil.
"Apakah wilayah desa adat ini nilainya sama dengan wilayah desa dinas? Kalau tidak sama, palemahan yang tercantum dalam awig-awig itu sebenarnya batas mana saja? Apa sikut satak, Kahyangan Tiga, atau duwen-duwen pura. Sedangkan wilayah teritorial ini kan wilayah yang memang sudah ditetapkan, sebagai wilayah administratif. Selama ini masalah yang tidak bisa kami berikan pembenaran secara utuh adalah masalah batas ini"aku camat Ubud, IB Ngurah Gede. Mangku Gandra, bendesa adat Lod Tunduh menyarankan untuk mempergunakan prinsip Catur Dresta dalam menangani masalah batas desa ini. Harus mengacu pada sejarah daerah, dan sastra. "Batas wilayah yang paling tepat digunakan adalah batas alam" imbuh Tuarsa.
Salah satu alternatif pemecahan disampaikan Ketut Sumarta, "Mari selesaikan batas desa dengan memperhatikan Catur Dresta. Ada kuna dresta, sastra, loka dresta dan desa dresta. Diperlukan upaya rekonstruksi untuk menangani batas desa adat. Karena bagaimanapun ada fenomena fragmentasi desa adat; dari satu desa adat pecah jadi tiga. Sehingga batas desa adat sudah semakin kabur. Oleh karena itu, untuk mentasinya bisa dengan berjalan sesuai kuna dresta dengan menanyakan pada para tetua atau panglingsir, padankan dengan sastra dresta, tanyakan sulinggih, pemangku, atau dalang, yang memahami sastra dresta. Sastra anggen nepasin," papar Ketut Sumarta, ketika menyampaikan pengantar diskusi di kecamatan Payangan. Setelah itu jalankan sesuai loka dresta yang patut dilaksanakan pemerintah. Kemudian baru diputuskan dalam paruman. "Yang sering saya amati, proses ini yang tidak diikuti secara bertahap. Anak lingsir baru diberitahukan setelah ada keputusan. Pemerintah pun terkadang sering mendominasi pengambilan keputusan tanpa mempertimbangkan dresta yang berlaku. Maka terjadilah seperti kasus Nengah Prapti beberapa tahun silam. Jangan terlalu apriopri dan mengartikan setiap peran pemerintah ke desa adat sebagai suatu intervensi. Begitu juga dengan pemerintah, jangan terlalu cepat dan dominan menyelesaikan masalah adat tanpa mengindahkan loka dresta yang berlaku" jelas pemimpin redaksi SARAD ini.
Selain itu penyebab lain munculnya ketidakjelasan batas desa ditengarai akibat hilangnya batas alam yang dulu dijadikan batas alam. Perkembangan pembangunan ekonomi menyebabkan terdesaknya keberadaan tukad dan bengang. Kini semua berubah seiring peningkatan jumlah bangunan.
Sama seperti apa yang menimpa pada desa adat yang lain, masalah tanah menjadi satu persoalan yang luar biasa rumit bagi desa adat di Bali. Mulai dari masalah penjualan tanah pekarangan desa (PKD) dan AYDS hingga privatisasi tanah melalui program sertifikasi yang berujung pada perubahan cara pandang masyarakat terhadap nilai tanah yang semakin dipengaruhi logika ekonomis.
Konsep status tanah PKD dan AYDS sebagai druwen desa yang seharusnya tidak boleh dialihkan atau diperjualbelikan tanpa persetujuan desa, lambat laun menjadi tidak jelas (gabeng) akibat penerapan hukum agraria nasional yang menerapkan privatisasi tanah. Banyak tanah teba yang seharusnya masuk tanah desa kemudian disertifikatkan atas nama perorangan. Dengan demikian, kedudukan tanah karang desa mempunyai fungsi sosial-kultural untuk kepentingan parahyangan dan catu krama menjadi tidak bisa ditepati lagi karena nilai ekonomis tanah saat ini. Tidak aneh kemudian banyak terjadi upaya menjadikan tanah desa atau tanah pelaba Pura bukan sebagai tanah hak guna melainkan menjadi milik perorangan. Seperti yang terjadi di Desa Pisang Kaler, Tegalalang. Semula ada seorang krama pendatang yang ingin menetap di daerahnya. Krama pun menyetujui pemberian ijin penggunaan tanah ayahan desa kepada krama pendatang tersebut, yang juga menjadi pemangku. Pemangku ini memohon agar diijinkan untuk mensertifikatkan tanah yang kini ditempatinya. Krama pun menyetujuinya. Setelah sertifikat selesai, ia mengundurkan diri menjadi krama. Ini menimbulkan permasalahan yang sangat serius antara krama desa adat dan pendatang itu. Masalah pemilikan tanah ayahan desa juga terjadi di Kendran, Tegalalang. Tanah yang awalnya diserahkan pemilik puri ke desa adat, dibuatkan SPPT oleh putra pemilik puri tersebut, untuk kemudian dijual kepada investor.
Desa adat Taro juga mempunyai masalah pemilikan tanah desa adat. Tanah setra yang menjadi milik ayahan desa, disertifikatkan pemerintah dengan alasan daerah tersebut masuk kategori tanah hutan. Sedangkan, Desa adat Patas menghadapi permasalahan hak waris kramanya yang menikah ke luar negeri namun kembali dan meminta bagian tanahnya. Tingginya keinginan masyarakat menjual tanah dialami beberapa desa adat di Gianyar terutama yang terletak di daerah strategis untuk kepentingan pariwisata. "Tentang tanah yang dijual, susah menertibkan. Bagaimana cara instansi terkait agar ada kesamaan dalam pelaksanaan. Jangan kami yang dibawah melarang, di atas memperbolehkan. Jika tidak kami ikuti, masyarakat di bawah demo. Yang jelas bagaimana agar instansi dinas dan desa adat, satu kata" pinta bendesa adat Sebali, Ketut Mulya.
"Masalah tanah sudah siap menjadi potensi konflik yang sewaktu-waktu meletus. Saya pernah dibabat habis di pengadilan karena masalah teba yang masuk pekarangan desa. Ada perbedaan konsep tentang tanah antara negara dan adat. Negara selama ini sebatas mengenakan pajak" keluh AA Gde Putra, bendesa adat Pejeng yang juga aktif merumuskan Perda No 6/1986, silam. "Serba sulit juga mengontrol penjualan tanah oleh krama. Seperti saya di Ubud, masalah jual beli tanah dianggap selesai jika sudah ada kesepakatan antara pembeli dan penjual. Saya hanya bisa mengingatkan kalau ada krama yang menjual tanah terutama tanah warisan agar dilengkapi silsilah dan surat pernyataan persetujuan keluarga untuk menjual tanah. Tetapi akhirnya saran kami didiamkan, entah berapa lama keluar sertifikat. Jika ada masalah dikemudian hari, kamilah yang kena getahnya" imbuh wakil bendesa adat Ubud.
Pensertifikatan pelaba pura dan pengenaan pajak atas tanah karang desa serta pelaba pura juga masih menjadi perdebatan dikalangan bendesa adat. Desa adat Basangambu, Tampaksiring, Manuaba, misalnya, meminta bantuan pemerintah dalam pensertifikatan pelaba pura yang macet akibat kekurangan dana. Namun lain halnya dengan desa adat Lod Tunduh. " Saya selaku Bendesa adat Lod Tunduh sampai sekarang saya tidak mau mensertifikatkan Pelaba pura. Alasan saya, kalau itu disertifikatkan berarti saya akan bayar pajak. Selain itu saya menjaga kemungkinan desa adat menjadi ricuh dengan perkara ini ke depan. Tapi kami tetap memiliki DD. Kalau sudah Pelaba Pura itu kena Pajak, sudah jelas nantinya Pura bisa disertifikatkan otomatis kena pajak. Berarti tempat ibadahlah nanti dikenai pajak juga. Kalau bisa kita pertahankan sama sekali agar tidak kena pajak" papar Mangku Gandra, Bendesa adat Lod Tunduh. "Tidak masalah jika tanah pelaba pura disertifikatkan, asal ada kepastian dan jaminan hukum dari pemerintah untuk tidak mengenakan pajak. Tentang teba, kalau sudah dimasukkan PKD jelas tidak bisa diperjualbelikan" tukas Jero Mangku Pawana. Ditambahkan Tuarsa, tanah ayahn desa aka bermasalah jika kita menjualnya ke orang lain. ""MPLA telah mengeluarkan buku tentang penyelesaian kasus adat, termasuk masalah Tanah PKD dan AYDS. Mungkin bisa membantu" sarannya.
Pengamat sosial, AA Gde Oka Wisnumurti menilai sertifikasi tanah adalah sumber masalah di desa adat. "Kalau sudah jadi milik pribadi, prajuru hanya bisa mengatur agar palemahan agar tetap berjalan baik. Kita hanya berhak mengatur hak dan kewajiban mereka. Desa adat perlu menjaga agar karang ayahan desa tidak diperjualbelikan. Sehingga krama yang angaraksa tanah desa hanya punya hak guna pakai, bukan hak milik.. Ini yang harus dipertegaskan terlebih dahulu. Dalam kasus tanah gunakaya (milik pribadi), desa adat-pun punya hak untuk mengatur. Pengaturan lebih jauh tentang hal ini bisa dilakukan dalam perarem masing-masing desa adat. Termasuk kewajiban krama tamiu yang tinggal disana. Sama dengan Sangeh, kebetulan pengelola Orang India., tidak mau tunduk ke desa adat karena merasa sudah bayar pajak ke pemerintah. Mereka lupa menghormati wilayahnya. Secara logika hukum ketatanegaraan, yang berlaku universal benar juga konsep orang India itu. Komplikasi konsep hukum seperti ini yang perlu dibicarakan. Hanya perlu dipikirkan pendekatan yang bisa menyelesaikan masalah. Kalau hanya diperdebatkan tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk memecahkannya, kita perlu mencari mediator" jelas dosen Fisipol Universitas Warmadewa ini.
Globalisasi juga membuat desa adat harus bersiap menyambut kedatangan investor di luar daerahnya. Desa adat Jati misalnya masih bingung mengenai syarat apa yang harus diberikan kepada investor yang akan membangun hotel di wilayahnya. Desa adat Kelusa malah gerah dengan sikap investor yang tidak mau berdana punia untuk kepentingan desa adat Padahal jalan yang dibuat di tempat dimana hotel itu dibangun awalnya didirikan krama desa. Sehingga ada dua hal yang penting berkaitan dengan investor; Pertama, desa adat seharusnya dilibatkan dalam pemberian rekomendasi pada sebuah investasi. Jangan sampai desa adat hanya menjadi "pemadam kebakaran". Kedua, harus ada kejelasan kontribusi dari investasi pada desa adat. "Kalau ada investor datang berarti ia setidaknya harus memberikan kontribusi 1 % dari modal yang ditanamnya pada desa adat serta dalam proses rekruitmen tenaga kerja harus memperhatikan anggota krama Desa yang tentu saja disesuaikan dengan kualitasnya" saran bendesa adat Lod Tunduh. "Kita harus punya pegangan agar investor yang masuk harus berdampak positif bagi lingkungan" imbuh Wiryastra, Bendesa adat Ubud.
Masalah khusus dihadapi desa adat Kebek. Masih ada penutupan jalan oleh investor yang mengganggu kepentingan desa adat, seperti untuk pitra yadnya. Jika ke setra krama desa adat Kebek harus memutar melewati jalan yang lain. Masalah penutupan jalan yang melibatkan desa adat Semadi, Kebek dan Puhu ini dipicu oleh proyek pengadaan air bersih. Masalah lain yang dihadapi desa adat di kabupaten Gianyar ini yang sempat teridentifikasi dalm temu wirasa adalah; masalah krama dan ayah-ayahan, konflik yang terjadi di desa adat, konflik lintas desa adat, timbulnya masalah sosial seperti perkelahian, miras dan narkoba, sulitnya penertiban tajen (sabung ayam), arogansi Pecalang, serta masalah penerapan hukum adat yang tidak pada tempatnya. Selain itu juga timbul persoalan yang menyangkut tata hubungan desa adat dengan desa dinas, seperti perangkapan jabatan kelihan banjar sekaligus kepala dusun, belum jelasnya pengaturan tentang tugas dan kewenangan desa dinas dan desa adat serta masalah kecemburuan antara prajuru dan aparat dinas.
<< Kembali