» Paruman
» Wicara Desa Adat
» Sastra Dresta
» Desa Dresta
» Loka Dresta
» Data Riset
» Temu Wirasa Bendesa Adat
» Catatan Pan Brayut
» Babad Bali
» Bali Aga
» Raditya
» Sarad Bali
» PHDI
» Hindu Indonesia
» Taman Gumi Banten
» Arsitektur Bali
   
  Home | Uluangkep | Bukutamu | Bulletin |   

Teologi Sang Daridra

Dalam kelahirannya, agama Hindu memiliki watak yang sosialistik. Watak sosialistik dari Hindu dapat dibaca dari dua hal: Pertama, teologi tentang uang. Teologi uang dalam teks-teks suci keagamaan memfirmankan beberapa larangan diantaranya; larangan untuk mendapatkan keuntungan (harta) dari ekploitasi terhadap sesama, serta larangan uang yang didapatkan dari jalan kotor untuk membiayai usaha-usaha yang bersifat kebaikan. Dalam hal ini, Hinduisme selalu memberi batas yang tegas antara laba dengan kacmala (riba-rente). Dalam kitab Sarasamuscaya misalnya disebutkan bahwa " Apang ikang artha, yang dharma lwirning karjananya, ya ika labha nrgaranya&kuneng yan adharma lwirning karjaganyanya, kacmala ika&".
Kedua, watak sosialistik Hinduisme terlihat dari anjuran untuk mensedekahkan kepada seorang patra (orang yang patut untuk diberikan sedekah). Dalam teks-teks klasik Hinduisme juga digambarkan bahwa bersedekah (dana puniya) tidak harus dalam berbentuk harta tetapi juga berupa amal kebajikan; seorang dokter akan memberi obat, seorang guru akan menularkan ilmunya pada sang patra. Bahkan ada yang disebut Abhayadana, dana punya yang lebih utama dari segala macama dana, yaitu tidak membuat takut kepada semua mahluk. Tinggal sekarang menentukan siapa seorang Patra itu? Sang patra yang sesungguhnya adalah para Daridra (orang miskin), yang dalam bahasa Sarasamuscaya disebutkan sebagai orang yang hidup tetapi pada saat yang sama ia "mati.
Walaupun secara nawaitu, agama Hindu adalah agama yang sosialistik, namun dalam transformasi sosial yang intensif dan eskalatif sejak revolusi industri dan diperkenalkan paradigma modernitas-kapitalisme, Agama Hindu, dalam pengertian sosiologis, institusional, tidak bisa menghidari diri dari pengaruh paradigma modernitas-Kapitalisme. Saking kuatnya pengaruh ideologi kapitalisme ini menimbulkan dua kecenderungan utama dalam wajah Hinduisme kontemporer; agamaisasi kapital dan kapitalisasi agama.

Agamaisasi Kapital
Agamaisasi kapital merupakan kecenderungan kontemporer yang menjadikan kapital (uang-harta) sebagai orientasi utama kehidupan. Dalam masyarakat kapitalistik, kapital telah menjadi agama baru. Seluruh pikiran, perkataan dan tindakan diabdikan untuk mendapatkan keuntungan secara maksimum (akumulasionis). Dalam ranah ekonomi, watak akumulasionis, nampak dari penindasan pengusaha terhadap buruhnya dan para petani berdasi terhadap buruh taninya. Namun, karakter akumulatif ini tidak hanya menyentuh domain ekonomi semata melainkan meluas ke domain-domain sosial yang lain. Misalnya, para birokrat sibuk untuk menghitung besarnya fee yang diperoleh dari investor ketika ada proyek pembebasan tanah, para politisi mengkalkulasi uang yang diperoleh ketika menolak sekaligus menerima LPJ Gubernur-Bupati, beberapa LSM membuat proposal fiktif untuk dapat menarik dana funding atau bahkan dosen sibuk menjadi konsultan proyek investor dimana-mana.
Kosekuensi logis dari agamaisasi kapital ini adalah keterasingan (alienasi) manusia dari manusia yang lain, karena dalam sistem ekonomi yang kapitalistik manusia pada dasarnya dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang akan menghasilkan keuntungan. Dalam proses komoditifikasi ini, manusia tidak ada bedanya dengan benda karena bisa menjadi lahan keuntungan (komoditi) dari manusia yang lain. Berjalanannya komoditifikasi ini secara intensif akan memperluas dan memperlebar jumlah kaum Daridra, yang jelas mengalami proletarisasi dalam sistem ekonomi yang kapitalistik.

Kapitalisasi Agama
Selain agamaisasi kapital juga berjalan proses kapitalisasi agama. Dalam kapitalisasi agama, agama sebagai institusi cenderung tumbuh dan berkembang menjadi institusi yang kapitalistik. Dalam konteks Bali, kapitalisasi agama bisa terbaca dari beberapa gejala; Pertama, komoditifikasi banten dan upacara. Dalam maknanya yang otentik, banten merupakan persembahan suci (yadnya) dalam memenuhi Tri Rna, namun maknanya akan bergeser ketika banten menjadi sekedar "paket hemat" yang ditransaksikan. Demikian pula dengan upacara keagamaan kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk memenuhi motif-motif kapitalisme pariwisata; seperti sekedar menjadi paket wisata, atau muncul dalam ungkapan "apang nyak turise teke ke Bali".
Kedua, kapitalisasi agama juga menyentuh para pemegang otoritas simbol-simbol keagamaan. Secara sinis, masyarakat sering menunjuk pada perilaku pandita dan pinandita yang lebih mementingkan "sarin daksina" daripada "seva-pelayanan". Bahkan hal ini disadari juga oleh kalangan pandita sendiri, seperti diungkapkan oleh Ida Pedanda Made Sidhemen dalam lontar Patitip. Dalam lontar itu, Ida Pedanda pernah menyebutkan fenomena "Wiku Raksasa", yang menunjuk pada perilaku para pandita yang tidak mengikuti sesana kepanditan, larut dengan dunia yang berubah.
Berjalannya proses kapitalisasi agama secara luas bisa jadi akan mengakibatkan agama hanya menjadi ruang bagi orang yang memiliki uang, dan menjadi "neraka" bagi orang daridra yang tidak ber-uang. Dalam agama yang telah terdistorsi oleh kapitalisme hanya orang kaya-lah yang akan bisa memenuhi tuntutan untuk beryadnya karena mereka memiliki uang untuk membeli segala sesuatu bahkan mungkin juga berpunia untuk kepentingan keagamaan (membangun Pura, nyumbang Banten) dan dana abadi institusi agama.

Teologi untuk Orang Miskin
Kalau kita ingin kembali ke semangat beragama yang sosialistik maka gejala agamaisasi kapital dan kapitalisasi agama harus segera diakhiri. Memang ini bukan tugas yang ringan, karena sebagaian teks keagamaan menyebutnya sebagai perangkap Kaliyuga dalam perputaran cakra manggilingan yang harus dialami. Namun setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan; Pertama, belajar dari sejarah agama-agama, bahwa transformasi sosial seringkali dimulai dari perubahan yang radikal terhadap pemahaman teologis keagamaan, seperti yang ditunjukan oleh kelahiran teologi Pembebasan di Amerika Latin, maka Hinduisme harus mengeksplorasi dan membangun kembali pemahaman teologis keagamaan yang berbasiskan pada kaum Daridra (kaum miskin). Dalam Teologi untuk orang miskin, seharusnya terjadi perubahan yang radikal terhadap pembacaan fenomena kemiskinan, bahwa orang menjadi miskin bukan karena seseorang itu dibelenggu takdir-karma (konservatif) ataupun karena malas (liberal), namun orang menjadi miskin karena ketidakadilan struktural. Perubahan radikal terhadap tafsir keagaaman tentang sang miskin akan membebaskan sang miskin dari perangkap penindasan struktural, baik oleh Negara maupun pemilik kapital.
Kedua, agama sebagai institusi seharusnya kembali sebagai pelayan bagi sang miskin. Agama harus menunjukan keberpihakan pada oarang-orang yang kalah ini melalui pemeberian pelayanan dasar; pendidikan dan kesehatan. Tanpa keberpihakan ini agama hanya menjadi wacana, dunia simbol-simbol ataupun atraksi sosial yang menarik untuk ditonton. Dalam konteks ini, tugas lembaga keagamaan itu bukan hanya mengorganisir upacara-upacara besar namun juga mengumpulkan punia dari umat yang berlebih untuk kemudian dikelola untuk kepentingan si miskin. Itulah sebabanya banyak tokoh besar dan institusi keagamaan dari berbagai agama memulai selalu langkahnya dari pelayanan dasar bagi si miskin; mulai dari Bunda Theresia dari Ordo Cinta Kasih sampai dengan Gerakan Muhamadiyah yang mendirikan banyak rumah sakit dan sekolah di Indonesia. Sampai disini Agama telah menunjukan keberpihakannya serta memerankan dirinya sebagai penjaga masyarakat yang sosialistik.

*****

Dosen Fisipol UGM

Kembali

 

 

   
Copyright 2003 Desaadat.com