» Paruman
» Wicara Desa Adat
» Sastra Dresta
» Desa Dresta
» Loka Dresta
» Data Riset
» Temu Wirasa Bendesa Adat
» Catatan Pan Brayut
» Babad Bali
» Bali Aga
» Raditya
» Sarad Bali
» PHDI
» Hindu Indonesia
» Taman Gumi Banten
» Arsitektur Bali
   
  Home | Uluangkep | Bukutamu | Bulletin |   

Dari Rambut Sedana ke Adam Smith

Marginalisasi desa adat sebagai sebuah entitas ekonomi lokal sebenarnya sudah dimulai dari pendaratan Mads Lange, seorang pedagang Denmark dengan kapal venusnya di pantai Kuta pada tahun 1840. Namun demikian, marginalisasi itu bekerja semakin intensif kurang lebih setengah abad terakhir ini dengan melibatkan semakin banyak agency-agency kapitalistik global dan domestik; mulai dari investor oligopolistik internasional, state aparatus modern (birokrasi dan militer), makelar tanah, sampai dengan borjuasi lokal. Batas-batas antara ketiga agency yang terakhir itu memang ada namun pada dasarnya aktivitas mereka seringkali saling menembus batas. Birokrasi bisa berperan menjadi makelar tanah sekaligus borjuis kecil-kecilan. Demikian pula, makelar tanah bisa menggunakan birokrasi dan militer untuk proyek pembebasan tanah yang pembiayaan awal ditalangi oleh borjuis lokal. Sedangkan, Borjuis lokal sering berperan ganda menjadi makelar tanah dengan membangun kolaborasi dengan birokrasi dan tentusaja mengikutsertakan jaringan korporasi makelar tanah.
Selain aktivitasnya menembus batas, tiga agency itu mempunyai semacam ideologi bersama yang mendukung kepentingan ekonomi-politik mereka. Ideologi tunggal mereka adalah "Ekonomi ala Adam Smith". Kalau dahulu orang Bali punyai "Dewan Peken; Rambut Sedana" maka sekarangpun ada "Dewan peken: Adam Smith". Dalam logika ideologi ala Adam Smith, market, pasar bebas, liberalisasi ekonomi, kompetisi pasar adalah kata kunci. Segala sesuatu harus disiapkan untuk kepentingan pasar, termasuk desa adat-pun harus menyiapkan diri untuk kepentingan pasar. Singkatnya, market dipandang sebagai penuntun jalan ke arah kesejahteraan masyarakat lokal.

Adam Smith ke Desa
Di tingkatan lokal, penetrasi ekonomi-politik ala Adam Smith, menimbulkan beberapa implikasi; Pertama, semakin terbatasnya pengendalian politik Desa Adat terhadap pemanfaatan ruang-ruang ekonomi di dalam teritorialnya. Selama ini, desa adat selalu "diperdaya" karena investor selalu datang dengan membawa ijin lengkap dari Pemerintah Pusat maupun Daerah. Sehingga, tidak aneh kemudian muncul fenomena tanah "kebengbeng/ keselek" dan tanah "Terbang" sebagai akibat tidak terkontrolnya proses konversi lahan dalam model pembangunan yang kapitalistik.
Implikasi kedua adalah semakin menyempitnya ruang-ruang ekonomi lokal, yang ditandai oleh pengambil alihan asset-asset ekonomi lokal oleh kekuatan supra lokal, terutama oleh Negara. Misalnya, pasar-pasar "Tenten" yang dahulunya dikelola oleh Desa Adat kemudian "di-Inpreskan" menjadi pasar Pemerintah. Demikian pula dengan berdirinya pasar-pasar swasta, seperti Mall, Ruko dan sebagainya.
Implikasi yang ketiga adalah runtuhnya social capital di tingkat lokal akibat pergeseran paradigmatik dan sosiologis dalam konsep pasar dalam masyarakat Bali. Pasar yang dalam konsepsi tradisional merupakan arena pertukaran sosial, seperti tercermin dalam pasar "Tenten", menjadi pasar yang sangat individualistik. Secara tradisional, orang Bali selalu menggunakan pasar bukan hanya sebagai transaksi ekonomi semata melainkan memfungsikan pasar sebagai tempat berinteraksi sosial, sebuah ruang terbuka bagi membangun civic virtues. Karena dalam pasar ada etik dan Dewan Melanting, yang menyebabkan setiap pedagang takut untuk mengabaikan "common good". Dalam pasar juga terdapat komponen civic virtues yang lain yakni liberty, dimana dalam pasar ada ruang kebebasan atau bahkan oposisionil. Namun, pasar desa yang dimodernisasi, baik oleh proyek Inpres Pasar oleh pemerintah maupun berdirinya Mall, justru menjadikan pasar desa terasing dari komunitas sosialnya.

Reaksi Desa Adat
Berhadapan dengan penetrasi kekuatan modal supra lokal dengan berbagai agency-nya sampai ke tingkat lokal, maka respon yang diberikan oleh lokalitas (desa adat) tidaklah seragam. Setidaknya ada tiga bentuk reaksi lokal terhadap kekuatan modal; Pertama, di beberapa desa adat cenderung memberi respon yang akomodatif-kolaboratif. Sikap kolaboratif ini muncul karena berbagai alasan; mungkin karena masuknya investor dianggap akan merubah wajah kemiskinan desanya. Alasan berikutnya, karena penetrasi ekonomi kapitalistik dianggap oleh desa adat sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari dan bahkan sulit untuk ditolak karena dibawa oleh kekuatan "Guru wisesa" dengan segala perangkat kekuasaannya (dominatif).
Bentuk respon yang kedua adalah "gabeng" (koeksitensi). Formulasi reaksi bersama desa adat belum bisa dirumuskan karena terjadi perpecahan (fragmentasi) dalam struktur dan kultur komunalitas desa adat, antara krama dan prajuru yang pro investor dan kritis terhadap investor. Awal mula perpecahan ini terjadi ketika Desa adat yang dibentuk untuk menjamin terjaganya public good (baik public interest dan public properties) menjadi "goyah" akibat muncul sejumlah godaan penumpukan kekayaan (orientasi akumulasi kapital) yang dikenalkan oleh agency-agecy Kapital. Implikasinya, ada sebagian krama dan Prajuru mendukung proses konversi tanah karang desa untuk kepentingan investor atau bahkan menjual atau mengkontrakan tanah pelaba Pura ke pemilik kapital. Bahkan tidak jarang investor secara jitu "memasang" beberapa prajuru untuk menjadi tim pembebasan tanah (makelar bayangan) atau menjadi pengawas dalam perusahan yang didirikan oleh investor tersebut.
Bentuk respon yang ketiga adalah konflik-instrumentalis. Konflik ini terjadi ketika masyarakat lokal menggunakan adat sebagai instrumen untuk memperkuat posisi tawar mereka, baik berhadapan dengan investor, pendatang maupun Negara. Dalam konteks ini adat oleh penggunanya menjadi sangat bermanfaat untuk merumuskan tuntutan; seperti mendapatkan pekerjaan di Hotel, mencegah munculnya kompetitor baru dari kalangan pendatang atau bahkan menolak sepenuhnya kehadiran investor.
Namun demikian, penggunaan desa adat untuk kepentingan yang sangat instrumentalis seperti itu tanpa adanya kepastian kerangka regulasi yang mengatur hubungan desa adat dengan Negara atau bahkan investor; serta terbangunnya partisipasi dalam demokratisasi komunitas akan menyisakan persoalan baru karena desa adat juga bisa muncul sebagai pemburu rente baru (new rent sekeers).

*********

Dosen Fisipol UGM

 

Kembali

   
Copyright 2003 Desaadat.com