Kebalian:
Ekonomi-Politik Identitas Orang Bali
Setelah kurang lebih tujuh abad, terjadi mengembang biakan (hibriditas) identitas orang Bali. Dalam hibriditas identitas itu terjadi konflik dan integrasi sosial. Konflik dan integrasi sosial bersifat elastis dan fluktuatif, sepertihalnya "gelang karet". Dalam kurun waktu tertentu, rumusan pembeda identitas menjadi sedemikian renggangnya hingga menimbulkan konflik. Namun dalam konjungtur waktu yang berbeda, sebuah pembeda identitas tidak relevan lagi dan merumuskan pembeda yang baru. Misalnya, ketika saat ini orang Bali berbicara tentang "kehilangan Ke-Balian" untuk menegaskan posisi mereka berhadapan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik luar Bali, maka sudah dapat dipastikan pembeda identitas yang lain yang pernah ada, seperti; Bali Age-Bali Majapahit dan identitas Kewangsaan menjadi pudar. Dan rumusan menjadi orang Bali menjadi sumber integrasi sosial. Namun, ketika pada suatu saat, pembedaan identitas kewangsaan dibutuhkan dalam kotestasi ekonomi-politik lokal, maka Ke-Bali akan meredup digantikan dengan pembeda identitas Kewangsaan yang menempatkan aspek geneologis (soroh) sebagai pertimbangan utama. Sampai disini kita bisa melihat bahwa identitas di Bali memenuhi fungsinya yang instrumentalis.
Identitas dalam Sejarah
Secara historis, identitas orang Bali berkembangbiak menjadi beberapa kategorial pembeda: Pembeda pertama, identitas Bali Mula dan Bali Majapahit. Hal ini dimulai sekitar tahun 1350 masehi, Sri Kresna Kepakisan, pemegang kuasa Majapahit atas Bali, mengukuhkan sebuah identitas sosial baru. Wong Majapahit, yang membedakan dengan identitas penduduk lokal Bali sebelumnya, yang disebut Wong Age (Bali Age). Identitas itu memberi batas-batas pembeda dalam seluruh lapangan kebudayaan, agama dan politik sampai saat ini. Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit bertempat tinggal di daerah Bali dataran yang berlimpahan dengan air. Sehingga, mereka mengenal sistem pengairan (subak) dan juga menganut sistem apanage. Secara politis, wong Bali dataran lebih memilih menerapkan sistem kepemimpinan tunggal dan monolitik. Mereka mengenal Puri dan Grya sebagai pemegang otoritas ekonomi-politik dan kultural. Sebaliknya, orang Bali Age tinggal di wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis, mereka sangat tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemimpinan kolektif.
Sejalan dengan tegaknya kekuasaan dinasti Majapahit di Bali maka lahirlah pembeda kedua yang didasarkan atas identitas kewangsaan, antara tri wangsa dan jaba wangsa. Pembeda identitas kewangsaan ini asal usulnya bisa dilacak dari dua doktrin keagamaan Hindu-Majapahit; doktrin dewa raja dan doktrin wangsa. Dalam doktrin Dewa-raja, raja dan ksatrya wangsa (negara) merupakan representasi daulat kekuasaan kedewaan. Sehingga, identitas kewangsaan itu memikul tugas "suci" untuk menegakan kekuasaan kedewaan dengan membangun tertib sosial dan moral. Dengan demikian, kekuasaan yang digenggam juga dipandang sebagai kekuasaan yang sakral dalam dunia yang propan. Dalam doktrin ini tatanan masyarakat dibayangkan seperti tubuh manusia (organic), yang mempunyai kepala, badan, kaki dan tangan. Setiap elemen (struktur) dalam tubuh manusia mempunya fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Walaupun demikian, dalam pespektif organik ini, kepala dianggap sebagai organ tubuh yang utama. Sehingga kepala lebih dilindungi dibandingkan anggota tubuh yang lain. Paham tentang tubuh manusia inillah yang kemudian diderivasi ke dalam tatanan sosial, yang kemudian menimbulkan adanya stratifikasi dan hieraki sosial. Kosekuensi dari pemahaman doktrinal keagamaan seperti di atas yang mengakibatkan tatanan sosial-politik di Bali di masa lalu menempatkan "linggih" dan "sor-singgih" menjadi sangat sentral. "Linggih" dan "sor-singgih" ini kemudian diterjemahkan ke dalam struktur kebahasaan yang hierarkis (sor-singgih base), perbedaan gaya hidup (nganutin antuk linggih) maupun sakralisasi status sosial.
Disintegrasi kekuasaan Gelgel pada tahun 1700 yang diikuti oleh masuknya kolonial pada tahun 1908, maka muncul pembeda identitas ketiga yang bersendi pada sikap orang Bali pada republik; golongan reaksioner dan republiken. Perumusan identitas ini muncul dan perkembang pada masa revolusi fisik (1945-1950). Pada saat itu, kekuasaan politik pemerintahan masih berada di tangan Dewan Raja-raja.. Kekuasaan mereka mendapatkan legitimasi dari kekuasaan NICA yang datang ke Bali setelah kekalahan Jepang. Untuk tetap mengukuhkan kekuasaannya, beberapa raja kemudian membentuk sebuah gerakan yang disebut gerakan reaksioner. Mereka juga membentuk milisia-milisia sipil yang direkrut dari kalangan Pemuda ( di kerajaan Gianyar disebut Pemuda Pembela Negara). Milisi ini dibentuk untuk menghadapi pejuang-pejuang gerilya pro republik. Pejuang-pejuang pro republik ini kemudian disebut golongan republiken.
Kapitalisme Pariwisata dan Kebalian
Pembeda yang keempat adalah identitas Ke-Balian. Gejala menguatnya identitas Ke-Balian ini bisa dimaknai dalam tiga kategori; pertama, ia bisa jadi muncul sebagai instrumen dari aktor-aktor (agency) lokal terhadap berbagai proses sosial-ekonomi-politik yang terjadi di Bali (resistensi), atau sebaliknya bisa juga dibaca sebagai invensi dari modernitas dan Negara. Atau kategori yang ketiga, antara resistensi dan invensi saling menguatkan identitas Ke-Balian.
Sebagai sebuah invensi modernitas, maka Ke-Balian muncul sebagai kreativitas dari aktor-aktor (agency) modern untuk menggunakan tradisi dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital (modernitas). Hal yang sama juga dilakukan oleh Negara yang kemudian lebih memanfaatkan tradisi untuk kepentingannya sendiri; seperti pembangunan, pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan sebagainya.
Sebagai resistensi, fenomena penguatan Ke-Balian merupakan reaksi terhadap kehadiran dua kekuatan besar, yang bisa saja dibedakan tetapi kehadirannya sering simulatan yaitu rezim modernitas dan proses negaraisasi (stateization). Rezim modernitas ternyata mempunyai kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar-standar kehidupan modern melalui berbagai macam proyek pendisiplinan. Sehingga, modernitas kemudian membawa apa yang disebut homogenisasi "taste of culture" yang meniadakan keunikan dan keberbedaan. Sehingga, identitas kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penolakan terhadap 'penyeragaman" oleh modernitas.
Selain itu, identisa Ke-Balian merupakan reaksi terhadap perubahan konfigurasi ekonomi-politik yang diakibatkan oleh Kapitalisme Pariwisata. Semakin intensifnya perkembangan industri pariwisata di Bali sejalan dengan menurunnya kapasitas Negara sebagai motor penggerak ekonomi pasca oil boom, menimbulkan semakin besarnya gelombang migrasi dari daerah-daerah di luar Bali ke berbagai tempat di Bali.
Berbeda dengan pola migrasi pada masa Gelgel dan kolonial, maka kehadiran migran dalam konteks pasca kolonial, terutama pada masa Orde Baru, lebih didorong oleh rasionalitas ekonomi yang bertemu dengan logika kapitalisme-pasar (market driven). Kalangan migran baru ini mempunyai sejumlah rasionalitas ekonomi sebagai alasan utama mereka untuk berpindah tempat ke Bali. Bagi segmentasi pekerja, baik kelas menengah maupun kelas bawah, rasionalitas ekonomi seringkali diletakan pada kondisi keterbatasan ruang-ruang ekonomi (seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan ekonomi dan minimnya lapangan kerja) di daerah asal kaum migran. Kebutuhan untuk "survive" membuat mereka terpaksa untuk meninggalkan kampung halaman mencari ruang-ruang ekonomi yang dirasa tingkat harapan kehidupan ekonominya jauh lebih baik.
Dari Pertukaran menuju Kompetisi
Kehadiran kaum migran baru (pendatang) sudah dapat dipastikan menimbulkan perubahan konfigurasi demografik di Bali. Bali yang dahulunya dikenal sebagai daerah yang homogen, menjadi heterogen dalam satu ruang tertentu, terutama di kawasan pariwisata. Selain itu, kehadiran pendatang juga menimbulkan pergeseran pola relasi pendatang-pribumi, dari pola hubungan pertukaran menjadi relasi yang kompetitif. Pergeseran ini terjadi ketika perkembangan pariwisata membawa ketimpangan antara besaran lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Di beberapa sektor ekonomi, kehadiran tenaga kerja pendatang (migran) menjadi komplementer (muncul exchange), karena kelangkaan tenaga kerja lokal yang masuk ke sektor ekonomi itu. Namun, sebagian besar sektor-sektor ekonomi menjadi arena kompetisi antara penduduk lokal dan pendatang. Dalam sebuah ruang hidup bersama ini, orang Bali harus bersaing dengan orang Jawa, Sumatera dan sebagainya dalam memperebutkan lapangan kerja yang terbatas jumlahnya.
Kompetisi tidak hanya terjadi dalam perebutan lapangan pekerjaan, melainkan juga dalam kompetisi kaum pemodal sendiri dan kelas menengah profesional. Kaum kapitalis lokal akan bersaing dengan pemodal-pemodal yang berasal dari luar Bali. Sedangkan kaum profesional Bali juga harus menghadapi persaingan dengan kaum profesional dari luar Bali, baik asing maupun daerah lain di Indonesia.
Selain membangun arena kompetisi ekonomi, perkembangan kapitalisme di Bali juga melahirkan pengukuhan prasangka etnis di bidang ekonomi. Logika kapital yang lebih memperhatikan keuntungan ekonomi, maka kaum kapitalis, baik orang Bali maupun orang non Bali, cenderung untuk mendapatkan tenaga kerja yang bisa dibayar murah serta tidak merugikan upaya akumulasi kapital yang dilakukan. Pilihan untuk mendapatkan tenaga kerja murah menyebabkan kaum kapitalis kemudian lebih "melirik" tenaga kerja pendatang, karena umumnya mereka mau dibayar lebih murah dari tenaga kerja lokal.
Selain didasarkan atas pilihan rasionalitas ekonomi, pilihan terhadap tenaga kerja pendatang juga dilakukan atas prasangka etnisitas, karena tenaga kerja Bali dianggap "banyak libur". Streotipe banyak libur ini muncul ketika orang Bali diharuskan terlibat dalam kegiatan-kegiatan adat (ayahan ke Banjar dan Desa Adat) dan keagamaan (hari raya keagamaan). Kosekuensi logisnya, lebih menguntungkan bagi kapitalis, baik lokal maupun pendatang, untuk merekrut tenaga kerja pendatang dibandingkan dengan tenaga kerja lokal.
Berbagai kompetisi ekonomi, baik di level pemilik modal maupun tenaga kerja, menimbulkan beberapa fenomena menguatnya ethnosentrisme orang Bali yang merupakan respon orang Bali terhadap pendatang. Etnosentrisme nampak dari munculnya persepsi tentang datangnya ancaman terhadap identitas Ke-Balian dari kalangan pendatang. Orang Bali merasa dirinya tidak aman dan terancam oleh kehadiran pendatang. Keterancaman ini tidak saja dalam hal perebutan sumber-sumber ekonomi melainkan juga masuk ke domain kultural-spritual. Kehadiran pendatang justru dianggap "melunturkan- atau bahkan menghancurkan" sendi-sendi budaya, adat dan agama orang Bali.
Kembali