» Paruman
» Wicara Desa Adat
» Sastra Dresta
» Desa Dresta
» Loka Dresta
» Data Riset
» Temu Wirasa Bendesa Adat
» Catatan Pan Brayut
» Babad Bali
» Bali Aga
» Raditya
» Sarad Bali
» PHDI
» Hindu Indonesia
» Taman Gumi Banten
» Arsitektur Bali
   
  Home | Uluangkep | Bukutamu | Bulletin |   

Surat Dari Albert Einstein Untuk Bali

Pada bulan September 1932, Albert Einstein mengirimkan sepucuk surat pada Sigmund Freud, seorang bapak psiko analisa dunia. Dalam surat itu, Albert Einstein mengajukan tiga pertanyaan yang diharapkan untuk dijawab oleh Freud; pertama, adakah cara yang ditemukan untuk membebaskan manusia dari ancaman kekerasan, teror dan perang?; kedua, mengapa para pemimpin dapat dengan mudah membangkitkan kebencian kolektif para pengikutnya terhadap orang lain (the others); ketiga, mungkinkan dilakukan pengendalian evolusi mental manusia sehingga ia terbebas dari psikosis kebencian.
Dalam menjawab pertanyaan Einstein, Sigmund Freud mempunyai dua pendapat; pertama, walaupun amat mustahil membebaskan manusia dari dorongan agresifnya secara menyeluruh, namun salah catu cara untuk melawan instinks destruktif yang menghancurkan adalah dengan mendorong instink cinta untuk menjangkau sasaran-sasaran di luar batas-batas wilayah dengan jalan menemukan cara-cara tertentu yang menuju terbentuknya komunitas kepentingan dan komunitas perasaan (community of feeling). Kedua, Freud juga berpendapat bahwa evolusi peradaban dan kebudayaan manusia pada akhirnya akan menumbuhkan intelek manusia yang menolak kekerasaan, teror dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Teror dan Sejarah Kemanusiaan
Kata-kata Sigmund Freud yang bijak bestari itu mungkin akan dilupakan sejenak dalam tragedi 12 Oktober 2002 di Bali. Dalam tragedi Bali yang membunuh 184 jiwa, agak sulit bagi sebagai orang untuk berbicara tentang instink cinta ketika bom yang diledakan bertujuan untuk menghancurkan, membunuh, dan menebar ketakutan sesama manusia. Dalam kemarahan, agak sulit juga berharap dari evolusi peradaban manusia yang menolak kekerasan ketika kekerasan justru dipakai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ideologis.
Namun, kata-kata Sigmund Freud akan bermakna kalau kita belajar kembali dari sejarah teror dan kekerasan. Pertama, sejarah menunjukan bahwa teror dan kekerasan adalah fenomena omnipotent (ada dimana-mana), bahkan ada di sekitar kita di Bali. Setidaknya paska tahun 1965, teror dan kekerasan pernah melanda Bali, ribuan manusia terbunuh di sepanjang aliran sungai, di lembah-lembah dan kuburan. Di belahan dunia yang lain, teror dan kekerasan terjadi dalam konflik-konflik komunal di Rwanda, Bosnia dan Maluku. Bahkan Donald Harowitz berani memastikan bahwa jumlah korban, teror dan tindakan kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik-konflik komunal jauh lebih besar dibandingkan akibat yang ditimbulkan oleh perang antar negara.
Kedua, sejarah memperlihatkan bahwa sejarah teror dan kekerasan sering berjalan beririrngan dengan sejarah penindasan. Sepanjang sejarah peradaban manusia selalu timbul berbagai masalah yang mencerminkan ketimpangan-ketimpangan kedudukan sebagai manusia. Manusia satu atas nama kekuasaan politik dan senjata merasa berhak untuk memperhamba dan meniadakan eksistensi manusia yang lain. Atas nama perbedaan ras, sekelompok manusia juga mengagap kelompok ras yang lain lebih rendah derajatnya. Sejarah juga memperlihatkan bagimana penindasan dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang terhadap manusia yang lain. Penindasan ini dapat mengambil bentuk perbudakan, penyiksaan dan juga penjajahan. Dalam kondisi tertindas seperti itu maka sebagaian manusia akan menjadi subordinate manusia yang lain. Orang yang ditindas akan selalu dirampas hak-haknya sebagai manusia. Sehingga, orang yang tertindas akan selalu diliputi rasa takut dan kehilangan kebebasan baik itu kebebasan untuk berekspresi, bergerak maupun mempunyai pendapat.
Ketiga, sejarah mengajarkan bahwa teror dan kekerasan seringkali dibungkus dalam kerangka politik ideologis tertentu. Ideologi digunakan sebagai justifikasi dan legitimasi atas teror dan kekerasan yang dilakukan. Dalam konteks ini ajaran agama juga sering dipakai sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan atas the others yang berbeda keyakinan keagaamaan dan ideologisnya. Kemunculan gerakan radikal fundamentalisme di setiap agama memiliki peluang untuk menebarkan teror dan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Bahkan di Bali, kekerasan juga bisa terjadi atas nama adat dan agama.
Kalau sejarah menujukan bahwa teror dan kekerasan merupakan bagian dari sejarah manusia dan Agama juga memberi kontribusinya. Jadi, apa yang bisa diharapkan ? Apakah kita bisa keluar dari spiral kekerasaan dan lingkaran teror? Apakah kita bisa berharap dari Agama ? Peran apa yang harus dimainkan oleh Agama-agama dalam menghadapi kekerasan? Apakah kita cukup dengan ritus-ritus perdamaian untuk menolak teror?

Agama, Teror dan Hak Azasi Manusia
Sudah sangat jelas bahwa dalam konteks teror dan kekerasan, Agama bisa menjadi sesuatu yang ambivalen; karena Agama bisa memperkokoh kekerasan yang dilakukan manusia dan sekaligus bisa membebaskan manusia dari kekerasan. Dalam sejarah, kehadiran agama-agama besar seringkali muncul sebagi respon terhadap kekerasan dan penindasan oleh sekelompok manusia terhadap manusia yang lain. Disini Agama memainkan perannnya sebagai sang pembebas manusia dari belenggu kekerasan dan penindasan. Tetapi sejarah juga membuktikan bagaimana Agama juga bisa digunakan sebagai alat pembenaran untuk terjadinya penindasan, kekerasan dan peniadaan hak-hak dasar manusia. Doktrin-doktrin "perang suci" yang dikenal dalam beberapa Agama kemudian terdistorsi ke dalam bentuk tindakan teror dan kekerasan.
Dari peran Agama sebagai alat legitimasi politik inilah menyebabkan munculnya konsep pemikiran yang diambil dari luar agama seperti yang dikedepankan oleh Thomas Hobbes, John Locke melalui teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial itu merupakan bentuk transaksi antara individu dengan Negara dimana kekuatan supra individu, termasuk Negara, tidak bisa secara absolute mengambil alih semua hak yang melekat pada diri individu. Karena setiap individu manusia mempunyai hak-hak kodrati yang merupakan hak-hak azasi. Selanjutnya teori kontrak sosial ini disempurnakan melalui pelembagaan dua hal yakni: dianutnya prinsip parlemetarianisme dan civil liberties.
Sistem Demokrasi Parlementer dan penguatan civil liberties yang dibangun dalam masyarakat Eropa pasca abad pertengahan merupakan penemuan yang gemilang untuk mengatasi problem kemanusiaan. Kekerasan yang ditimbulkan oleh penindasan oleh sesama manusia kemudian di atasi dengan dua hal; Pertama, membatasi kekuasaan kelompok-kelompok yang berpotensi melakukan kekerasan dan penindasan. Pembatasan kekuasaan ini merupakan upaya untuk melindungi hak-hak dasar manusia. Dan yang kedua, dilakukan melalui perluasan dan pelembagaan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada tahap awalnya hak-hak dasar itu merupakan hak-hak sipil dan politik yang menjamin kebebasan setiap manusia dari sesuatu yang mengganggu hakekat kemanusiaan (freedom from), termasuk bebas dari ketakutan (freedom from fear). Selanjutnya, hak-hak dasar tersebut diperluas menjadi hak-hak ekonomi dan sosial-budaya yang pada dasarnya menjamin setiap manusia mendapatkan kebebasan untuk melakukan sesuatu yang menjamin eksistensinya (freedom for).
Karena dikonstruksi sebagai respon dari kegagalan Agama untuk menjamin hak-hak dasar manusia maka konsep HAM seringkali diberi label sebagai konsep yang diimpor dari Barat. Padahal konsep HAM dibangun untuk mengatasi penindasan yang dilakukan oleh sesama manusia yang menjadi titik tolak kehadiran agama-agama. Kalau dikaji lebih jauh lagi maka tidak ada perbedaan antara konsep HAM yang kini sudah diratifikasi menjadi konvensi di berbagai negara dengan ajaran-ajaran yang dikedepankan oleh Wedanta tentang hakekat manusia. Konsep HAM yang berbicara secara fasih tentang kesederajatan manusia sejalan dengan ajaran Hindu tentang Tat Twam Asi seperti yang dikemukan di atas.
Kurang lebih enam dasa warsa yang lalu, dalam soal yang sama, seorang Mahatma Gandhi harus mengatakan bahwa " jika kita percaya kepada Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri kita maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau kelas, bangsa atau pun agama. Kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia". Dengan sebuah rangkaian kata-kata yang indah, Gandhi melanjutkan " Saya tidak mengenal perbedaan antara kaum Keluarga dan orang luar, orang sebangsa dan orang asing, berkulit putih atau berwarna , orang Hindu, orang Muslim, Parsi, Kristen atau Yahudi"
Peristiwa paska tragedi 12 Oktober menunjukan kekuatan kata-kata Gandhi. Masih ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang berduka dan berdoa (apapun namanya) atas tragedi tersebut, walaupun mungkin mereka tidak mempunyai kerabat yang menjadi korban. Ada banyak orang yang juga bersedia untuk menjadi sukarelawan di tengah liburan mereka di Bali; secara sukarela mengirimkan makanan untuk rekan-rekan mereka atau mmeberikan darahnya bagi korban-korban yang dirawat di Rumah Sakit Sanglah. Disinilah terbentuk apa yang disebut komunitas perasaan (community of feeling) seperti yang diucapkan oleh Sigmund Freud. Apakah kita sudah menjawab pertanyaan Albert Einstein? (Dosen Fisipol UGM)

*****

Dosen Fisipol UGM

Kembali

 

 

   
Copyright 2003 Desaadat.com