Desa Adat dan Politik
Pernyataan Bupati Gianyar, Cokorde Gde Budi Suryawan, yang juga tokoh Puri Ubud tentang bendesa dan desa pekraman tidak boleh berpolitik (Bali Post; 23 Oktober 2002) nampak mempunyai nilai kebenaran secara normatif, namun keseluruhan argumen yang dibangun terlihat kurang memahami semangat perubahan politik yang terjadi, baik dalam tataran paradigmatik maupun politik di grassroot paska Orde Baru. Mengapa demikian ? Paradigma berpikirnya masih mengedepankan apa yang disebut "politik ketertiban". Politik ketertiban selalu membangun wacana bahwa individu-individu harus tertib dalam menyalurkan kepentingan politiknya, jangan menyalurkan kepentingan politik melalui desa adat yang dianggap bukan lembaga politik sebaiknya aspirasi disalurkan pada partai politik. Menyalurkan kepentingan ke desa adat dianggap sebagai sesuatu yang "tidak tertib- menimbulkan konflik sosial dan sebagainya". Dengan demikian dalam politik ketertiban, interaksi sosial hanya dibangun dalam kerangka pendisiplinan politik individu dalam kehidupan sosial. Apa yang dimaksud dengan pendisiplinan individu? Michael Foucault dalam bukunya berjudul "Surveiller et Punir" menyebutkan pendisiplinan merupakan teknologi politis terhadap tubuh untuk menjadikan individu patuh dan berguna. Salah satu teknologi politis dalam pendisplinan adalah kontrol aktivitas, pengawasan hierarkis dan pembagian individu-individu ke dalam ruang-ruang yang sudah dibatasi. Sampai disini Foucault berbicara tentang pembatasan ruang gerak individu karena ruang gerak individu sudah dikategorikan sebelumnya. Kosekuensinya, perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman terhadap harmoni sosial oleh karennya perbedaan pendapat harus ditekan serendah mungkin agar perbedaan pendapat itu tidak muncul ke permukaan.
Benarkah perbedaan pendapat dalam desa adat merupakan ancaman terhadap kohesi-integrasi sosial ? Kalau diasumsikan bendesa adat mempunyai aspirasi politik yang berbeda dengan sebagian warganya, apakah aspirasi yang berbeda harus "ditekan" dalam sebuah politik wacana? Perbedaan pendapat dalam sebuah komunitas sosial adalah keniscyaaan, terutama kalau kita melihatnya dalam perspektif paska Orde Baru. Dalam perspektif yang baru, perbedaan pendapat dalam komunitas adat justru merupakan ruang untuk membangun integrasi sosial yang lebih partisipatif. Karena setiap elemen dalam komunitas adat akan belajar tentang makna demokrasi yang substantif bahwa berbeda pendapat merupakan sesuatu yang lumrah. Dengan demikian hal ini menjadi investasi pendidikan politik yang mahal di Bali di tengah budaya suryak siu.
Desa Adat berpolitik pada dasarnya merupakan loncatan paradigmatik dari cara berpikir Orde Baru yang monolitik (serba seragam, serba tunggal, serba diatur). Ketika Orde Baru berkuasa perbedaan pendapat dalam komunitas ditekan sekecil mungkin, bahkan ditiadakan. Yang "diadakan-dan disebarluaskan" justru kepentingan politik hegemnonik dan monolitik tunggal yang bersumber dari Negara (Pemerintah) dan Golkar. Desa Adat dalam kondisi ini justru dijadikan desa adat yang "robotik", karena tidak boleh mempunyai aspirasi yang berbeda dengan pemerintah dan Golkar. Kalau berani berbeda maka kosekuensinya desa adat itu akan mendapatkan "hukuman (punish)", baik berupa stigmaisasi maupun tidak akan mendapatkan "bantuan" ekonomi dari pemerintah. Selain menggunakan menjadi mesin politik dalam Pemilu, desa adat juga dijadikan instrumen untuk mensukseskan program-program pembangunan oleh pemerintah, baik membangun proyek "Land Consolidation" untuk jalan, masuknya investor sampai dengan Sapta Pesona. Bahkan Bendesa Adat dalam jalinan relasi kuasa ini berperan penting menjadi "entry point" pemerintah masuk ke desa adat. Setelah habis-habisan menggunakan desa adat, maka agak sulit untuk menerima pendapat, terutama kalaui itu berasal dari pemerintah bahwa setelah reformasi desa adat diharuskan untuk "tertib" kembali.
Sikap Ambigu
Pernyataan Bupati Gianyar juga menunjukan sikap ambigu elite pemerintah lokal dalam memakna politik terutama berkaitan desa adat. Ambiguitas itu terlihat dari kecenderungan; desa adat diminta untuk tidak berpolitik terutama ketika dihubungkan dengan pemilihan Bupati. Akan tetapi desa adat diminta untuk terlibat dalam perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan pada tingkat lokal. Bahkan di beberapa daerah, desa adat bersama-sama aparat Trantib melakukan operasi yustisia, seperti kependudukan, pedagang kakilima (keliling) sampai dengan pelacuran. Bahkan ketika muncul wacana pendatang, beberapa pemerintah daerah melibatkan desa adat dalam penertiban pendatang. Padahal ketika terlibat dalam proses pemerintahan sehari-hari, desa adat juga sudah berpolitik.
Kecenderungan di atas menguatkan kesan bahwa desa adat tidak boleh memasuki wilayah-wilayah kepentingan politik elite; elite birokrasi dan elite partai politik. Namun akan dibiarkan terlibat ketika muncul kepentingan-kepentingan strategis pemerintahan. Keterlibatan desa adat diberikan sepanjang menguntungkan program-program elite birokrasi dan parpol. Politik "double track" ini tentusaja dikemudian hari akan "berbahaya" karena desa adat hanya akan tetap menjadi "obyek berpolitik" dari elite-elite politik kekuasaan. Dalam model perpolitikan semacam ini, desa adat juga akan tetap menjadi sasaran upaya membangun patronase politik dan popularitas karena kekuatan massa yang dimilikinya sangat menggiurkan terutama dalam kotestasi politik lokal, Pemilu atau pemilihan Bupati dan Gubernur.
Demokrasi Delegatif dan Hak Komunitas
Selain sangat kuat mengabsorsi politik ketertiban, pernyataan itu juga mengabaikan kecenderungan baru dalam politik modern bahwa hak berpolitik tidak hanya diletakan pada aras individu tetapi juga hak komunitas. Dengan demikian, tidak ada gunanya mengganggap bahwa berpolitik itu hanya persoalan individual. Kehadiran partai politik dan institusi politik modern juga mencerminkan gaya politik pada level komunitas. Contohnya, walaupun sebuah partai politik memenangkan mayoritas suara individu dalam Pemilu akan tetapi dalam tataran empirik partai politik itu berpolitik selalu dengan atas nama "kedaulatan" komunitas atau institusinya. Berpolitik dengan institusi ini tidak bisa dihindari ketika terjadi peningkatan kuantitas individu secara demografik serta rentang berpolitik semakin panjang yang juga ditambah dengan luasnya besaran wilayah. Sehingga akhirnya politik modern memilih bentuk-bentuk politik delegatif (perwakilan). Nah, dalam konteks ini, individu-ndividu bisa menyampaikan kepentingan (aspirasinya) pada delegasi yang kemudian diberi mandat oleh komunitas dari individu itu untuk mengartikulasi dan mengagregasikannnya. Dengan demikian komunitas juga bisa berpolitik ketika indivisu dalam komunitas itu memberikan "mandat politiknya" pada komunitas yang diwakili (didelegasi) oleh Bendesa Adat misalnya. Hal ini juga terjadi pada dunia partai politik, para politisi partai politik diandakan membawa "mandat" dari pemilihnya yang diperoleh dalam pemilihan umum untuk diperjuangkan. Kalau model mandatory adalah tren politik modern, apakah mandat oleh delegasi itu mempunyai kelemahan? Jawabannya ya, partai politik atau desa adat harus senantiasa melakukan pembaharuan mandatnya sehingga agenda politik grassroot kongruen dengan agenda politik dari pengemban mandat. Hal itu berarti harus ada konsulatsi publik; baik itu berupa pertemuan partai dengan massanya atau bendesa adat dengan kramanya melalui paruman. Mungkinkah ada kebulatan pendapat ? Dalam masyarakat yang demokratik, perbedaan pilihan bukanlah kiamat, kelonjongan pendapat bukanlah "haram", karena demokrasi menyediakan instrumen untuk menentukan pilihan; salah satunya dengan menggunakan voting (suara terbanyak). Voting adalah salah satu cara untuk menghindari tirani minoritas dimana pendapat yang mendapat dukungan kecil dalam sebuah komunitas akan menghalangi pilihan politik komunitas. Dalam demokrasi juga diatur bahwa walaupun seseorang minoritas dalam voting, ia juga diberi "hak untuk bersuara, berpendapat dan menentukan pilihannya" bukan harus dikenai "kesepekan" atau dimusuhi. Seseorang yang berbeda juga punya hak untuk memperjuangkan keyakinannya lagi di kesepatan yang berbeda. Mungkin pada saat itu, komunitas bisa setuju dengan pendapatnya.
Desa Adat dan Ruang Demokrasi
Dalam arus perubahan desentralisasi dan demokratisasi seperti sekarang ini berlangsung secara intensif di Indonesia, Desa adat seharusnya diposisikan sebagai ruang dan arena yang terbuka bagi demokratisasi lokal. Kalau ada kaitan yang erat antara besaran sebuah masyarakat dan dengan pemerintahannya dengan keterlibatan dalam politik, terutama menyangkut keterlibatan dalam pembuatan kebijakan publik di daerah, maka semakin kecil besaran yang dicakup sebuah pemerintahan akan semakin terbuka ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam pemerintahan. Keterlibatan itu tidak hanya dalam rangka perumusan agenda kebijakan di tingkat lokal, implementasi dan evaluasi kebijakan publik, tetapi juga dalam menentukan kepemimpinan lokal. Keterbatasan atau bahkan pembatasan ruang ini menyebabkan desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa digunakan sebagai arena pendidikan politik bagi warga lokal, kesetaraan politik serta kemungkinan untuk membangun akuntabilitas publik bagi penyelenggara pemerintahan di daerah. Akhirnya dalam sebuah politik ketertiban, tidak memungkinkan pelembagaan partisipasi masyarakat lokal dalam arena politik lokal sehingga tidak memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, individu dalam berbagai komunitas untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penentuan kepemimpinan lokal. Politik ketertiban harus diakhiri, sekarang juga.
*****