Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |

» Lebuh
»
Editorial
» Wicara
» Parahyangan
» Palemahan
» Pawongan
» Wawancara
» Pan Brayut
» Agenda
» Krama
» Pariwara

Wicara Edisi 5, Juni 2004  

» Investorku Sayang, Investorku Malang!
» Milik Desa Tak Hanya Tanah
» Belajar dari BTDC
» 10% Untuk Krama Tiwas

Investorku Sayang, Inverstorku Malang!

Bagi masyarakat awam, investor adalah gudang uang, penyedia lapangan kerja. Bagi pihak tertentu, kehadiran investor berarti ancaman terhadap lingkungan dan tradisi budaya masyarakat lokal. Benarkah investor selalu menjadikan desa pakraman sebatas obyek?

Konflik yang kerap melentik men yangkut tata hubungan antar desa pakraman dengan investor di beberapa daerah, harus dijadikan pelajaran untuk memperbaiki hubungan antar desa pakraman dan investor. Terkadang desa pakraman menjadi obyek eksploitasi pihak investor, atau sebaliknya, investor sering menjadi bulan-bulanan warga desa pakraman; terbebani beragam pungutan, tuntutan tak rasional, dan seterusnya. Hal ini tak terlepas dari perbedaan cara pandang yang amat mendasar antara desa pakraman dan investor. “Seorang investor memiliki sudut pandang pasar, apa yang bisa dijual sekelilingnya. Sedangkan desa pakraman mengutamakan keharmonisan, cenderung konservatif. Namun demikian investor tidak selalu untung, mereka juga memiliki resiko yang sangat besar saat memulai usaha” jelas dosen Fak. Ekonomi Unud, Made Sukarsa.
“Jangan hanya melihat kami selalu untung saja. Tolong hargai dan mengerti bagaimana kami bekerja keras untuk memulai usaha yang juga bertujuan mengembangkan perekonomian masyarakat setempat. Belum lagi karakter masyarakat yang tidak mendukung, seperti cemburu atau pungli. Tolong bantu kami dengan kepastian hukum dan informasi yang tegas”pinta Agung Rai, pemilik hotel ARMA Ubud yang aktif di kegiatan social ini.

“Mari bersama-sama kita Bantu investor agar mampu menjalankan usahanya. Berlanjut, aman, sehingga nanti daerah kita yang mendapat keuntungan. Kebijakan terbaru, 30% dari hasil pajak hotel dan restoran (PHR) dialokasikan untuk kepentingan desa pakraman. Utarakan apa yang menjadi keinginan atau masalah yang ingin disampaikan kepada investor yang akan menanamkan modalnya. Pikirkan kemungkinan terburuk, jangan ewuh pakewuh. Ini penting untuk menjaga kelanjutan usaha. Kalau mereka bangkrut, kita sendiri juga rugi. Tuangkan dalam bentuk tertulis dihadapan notaries. Saat menyampaikan tuntutan juga jangan terlalu memberatkan mereka. Bukan berarti saya memihak investor, tapi ini penting untuk menjaga agar hubungan antara kita dan investor menjadi semakin baik” saran Agung Muter Mulawati, kepala Dispenda Gianyar.

Adanya nota tertulis yang memuat kesepahaman antara desa pakraman dan investor, ternyata tidak selalu menjadi jaminan. Terkadang dalam beberapa kasus, salah satu pihak mengingkari perjanjian. “Penyebabnya bisa pemerintah atau desa pakraman yang berambisi untuk mengembangkan wilayahnya, meski harus mengabaikan fungsi wilayah sesuai rencana strategis. Perubahan ini kerap terjadi di lapangan, tanpa disertai aturan. Bahkan perubahan yang terjadi di lapangan kerap dijadikan aturan.” kritik AA Gde Putera, SH, Bendesa Agung MUDP Bali.

Maraknya pungutan, syarat lainnya, terkadang membuat posisi investor semakin berat. Terutama investor berskala nasional dan internasional, yang hanya mengerti hukum nasional. Seperti yang dialami GM Four Season Ubud, Alex. Meskipun di awal proyek pembangunan telah diadakan perjanjian, namun beberapa perubahan yang sangat membingungkan kerap terjadi di lapangan. “Masalah utama bagi kami adalah informasi. Kami sangat memerlukannya sama seperti tongkat bagi orang buta. Pemerintah perlu menyiapkan panduan hukum dan aturan adat sesuai aturan main di daerah tersebut. Masalah-masalah atau aturan apa yang ada antara satu desa dengan desa lain, misalnya. Banyak hal yang kami tidak mengerti. Harus ada komunikasi antara pemerintah dan desa pakraman, yang kemudian disalurkan kepada investor. Jika aturan sudah jelas dan tegas, kami tentu akan menyesuaikan, mengkomunikasikan dan menanamkan investasi dengan aman. Jika ada perubahan, tentu akan kami bicarakan dengan desa pakraman” tegas GM yang sering mengundang wartawan asing untuk mempromosikan Bali ini.

Posisi strategis pemerintah sebagai lembaga penghubung antara kepentingan investor dan desa pakraman masih belum aksimal. Dalam amatan pemimpin redaksi SARAD, Ketut Sumarta, terkadang jika terjadi konflik pemerintah lepas tangan. Kasus yang menimpa Hotel Four Season, Sayan, Ubud, contohnya. Investor harus mengambil alih peran pemerintah sebagai pihak pengintegrasi yang seharusnya dimainkan oleh pemerintah.

Padahal investor memiliki keterbatasan kemampuan dan pemahaman. “Investor punya keterbatasan dan cara pandang sendiri. Mereka mengajukan rancangan usaha tentu saja hanya mengutamakan manfaat secara keuangan. Kalau saya melakukan investasi di Ubud 500 Milyar Rupiah, berapa tahun uang saya bisa dikembalikan. Itu saja. Bahwa sebenarnya, investor mempergunakan sumber alam, sawah, pesona budaya Bali, atau dalam ekonomi disebut eksternalitas, menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pejabat public. Konflik yang terjadi kebanyakan karena belum dilakukan kajian mendalam tentang manfaat social, lingkungan, yang harus didiskusikan dengan investor. Setelah tercapai kesepakatan, baru pemerintah menyatakan persetujuan. Pejabat publik harus lebih arif dengan investor,” saran Gede Adnyana Sudibia, dosen Fakultas Ekonomi Unud sekaligus praktisi bisnis ini.

Wayan P.Windia, mengusulkan keberadaan tim pendamping untuk desa pakraman. Komunikasi perlu dilakukan antara investor dengan komunitas lokal. Perlu semacam konsultan budaya asli. Desa pakraman perlu didampingi konsultan yang mengerti investasi. Semacam simpul desa pakraman. Sehingga kalau desa pakraman ingin bertemu investor, tinggal mencari orang tersebut. Dengan cara seperti itu, desa pakraman cepat mengerti investor. Investor cepat mengerti tentang desa pakraman. “ Desa pakraman perlu tempat untuk bertanya tentang investasi yang diperlukan untuk pengembangan desanya. Investor saja didampingi lawyer, kok!” seru narasumber ‘langganan’ desa pakraman ini.

Komunikasi dan keterbukaan memang menjadi solusi terbaik untuk membuat hubungan desa pakraman dan investor menjadi lebih harmonis. Sehingga masing-masing pihak saling mengerti dan memahami tugas dan peran masing-masing. Desa pakraman mendukung investor dengan menciptakan suasana aman, investor membantu desa pakraman mengembangkan perekonomian dan lingkungan sosial, pemerintah menciptakan kepastian hukum untuk investor dan menjaga kepentingan dan fasilitas publik. Masing-masing pihak saling memperoleh manfaat, keuntungan, dan keberlanjutan pembangunan di daerah setempat.

*Tisnawati*

 

Bulletin Uluangkep 2003