Baru-baru ini Depiknas meluncurkan sebuah program baru, yakni community learning center atau pembelajaran yang berpusat pada masyarakat. Dapat Anda jelaskan?
Saya mencoba memahami kebijakan yang terkandung dalam Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 yang baru saja disahkan. Di situ pendidikan formal dan informal diakui keberadaannya dengan basis kemasyarakatan. Ketika konsep ini diterjemahkan menjadi CLC (community learning centre), saya lantas berpikir dalam konteks Bali hal itu bukanlah konsep yang baru.
Kenapa?
Ya. Bali jauh sebelumnya sudah mengenal sebuah pola pendidikan masyakat yang dikenal dengan istilah desa pakraman. Desa pakraman sudah digagas pada abad 11 dan memang diniatkan sebagai media pembelajaran bagi krama Bali. Sampai sekarang pun tidak ada satu orang Bali asli pun yg tidak masuk dalam integrasi desa pakraman itu. Desa pakraman merupakan lembaga pengintegrasi terbesar bagi masyarakat di Bali yang menganut sistem demokrasi perwakilan representasi jauh sebelum era reformasi dikumandangkan.
Bisa dijelaskan sistem demokrasi representasi tadi?
Jadi, representasi atau perwakilan dalam sistem desa pakraman merupakan sistem yang berbasis pada keluarga. Kepala keluarga mewakili seluruh anggota keluarganya dalam keaggotaan desa pakraman. Jauh sebelum orang mengenal konsep demokrasi dengan sistem one man atau one person, one vote, Bali sudah mengenal sistem demokrasi perwakilan itu. Intinya adalah bahwa demokrasi dalam konsepsi Bali ada pada keluarga. Ketika orang sudah berkeluarga dia lantas akan mewakili anggota keluaganya. Konsepnya sudah sangat jelas. Kemudian demokrasi Barat memperkenalkan bahwa satu orang itu mempunyai satu suara dengan batas umur 18 tahun. Tapi Bali menerjemahkan ketika orang sudah berkeluarga, dengan asumsi apabila seseorang sudah berani berkeluarga dia sudah memiliki penyikapan sendiri terhadap sebuah permasalahan. Dia adalah pribadi yang sudah mandiri.
Kata mandiri menjadi kata kunci di situ dan ini pula menjadi kata kunci dalam pendidikan luar sekolah yang diistilahkan dengan pendidikan informal.
Apa keunggulan desa pakraman, sehingga lantas Anda tawarkan sebagai basis pendidikan, khususnya pendidikan informal di Bali?
Karena bajar atau desa pakraman sudah memiliki sistem dan struktur yang sangat jelas. Sistemnya adalah bahwa individu terkait dengan alam semesta. Manusialah sebagai subyek sekaligus pusat pendidikan, dia yang memerdekakan dirinya sendiri dan dia juga yang lebih memerdekakan lingkungannya. Dia yang mandiri dan dia juga yang memandirikan lingkungannya. Jadi, manusia yang menjadi kata kunci seluruh tatanan pendidikan di Bali.
Lantas kita ketahui pula adanya struktur yang sangat jelas pada desa pakraman. Bale banjar, misalnya. Bale banjar yang hampir dimiliki oleh setiap desa atau banjar, pada awalnya merupakan infrastruktur yang bebas nilai. Kalau kita kemudian install di situ ayam jago di bale banjar, maka jadilah bale bajar itu arena tajen. Kalau kita install disitu pendidikan-pendidikan budi pekerti maka bale banjar akan diwarnai dengan kegiatan yang bernuansa pendidikan moral, budi pekerti, dst.
Apakah sesederhana dan semudah itu?
Saya akui hal ini memang sederhana pada tataran gagasan, namun akan bisa pelik ketika dibawa ke tataran praktis di lapangan. Namun bagaimanapun ide ini menjadi penting untuk dikemukakan. Pola pendidikan informal di Bali sudah saatnya dikembalikan kepada struktur, fungsi, dan sistem yang sudah kita miliki. Struktur, sistem pembelajaran pertama yang berbasis keluarga. Tahun 1942 dalam sebuah majalah keluarga, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang hari kelahiran Beliau kita rayakan setiap 2 Mei sebagai Hardiknas, sudah menulis bahwa pusat kegiatan pembelajaran pendidikan di Indonesia adalah keluarga. Bali sudah melakukan itu paling tidak sejak abad ke-10, jadi keluargalah basis pendidikan dan pusat kegiatan pertama seorang pribadi manusia. Karena itu bisa kita pahami kalau desain struktur rumah orang Bali, didalam pekarangannya pasti ada ruang terbuka yang dinamakan natah. Rumah Bali pun tidak dibangun berbentuk seperti layaknya yang diperkenalkan oleh orang Belanda sebagai rumah kantoran yang tertutup oleh empat dinding. Melainkan rumah Bali sangat terbuka, di mana ada teras yang lapang. Teras menjadi ruang pembelajaran pertama di tingkat keluarga dalam skup untuk penguasaan ketrampilan. Maka disitu orang Bali belajar mejejahitan, karena bahan baku untuk mejejahitan itu panjang, busung, janur dan lain sebagainya itu panjang maka desain rumah itu harus terbuka.
Jadi ruang pembelajaran ke dua di tingkat keluarga ada pada natah, halaman rumah karena itu struktur bangunannya menjadi 4 bagian ada bale daja (utara) untuk orang tua, bale dangin (timur), bale dauh (barat), dan bale delod (selatan) sebagai dapur. Di tengah-tengah adalah ruang untuk pengintegrasi keluarga besar jadi kalau orang Bali punya hajatan besar maka dia akan mengundang keluarga besarnya dan kegiatannya tersebut berlangsung di natah. Problem orang Bali sekarang memang, karena keterbatasan lahan di kota-kota natah mulai punah.
Lalu apakah proses CLC yang Anda maksudkan itu berlangsung di natah rumah?
Bukan. Proses CLC nantinya berlangsung pada pusat pembelajaran orang Bali yang ke dua, yaitu di bale banjar. Di sanalah, terutama di jaman dahulu, orang Bali melangsungkan berbagai aktifitasnya, baik itu berlatih tari, gamelan, melukis, dst.nya. Seluruh krama dapat memanfaatkan dan belajar di sana dengan gratis. Fenomena inilah sesungguhnya yang ikut menghasilkan generasi-generasi maestro seni Bali seperti penari Ni Ribu, I Lotring dan lainnya. Kemudian dari segi lukisan/arsitektur berhasil melahirkan I Gusti Nyoman Ledeng, dari segi patung kemudian disitu melahirkan generasi I Cokot sang maestro dan sudah diakui oleh dunia. Bale banjar dengan begitu telah berfungsi sebagai pusat kebudayaan bagi grass root Bali.
Namun kondisi saat ini sepertinya nungkalik…
Nah, ini kemudian memang beralih fungsi secara besar-besaran di Bali, terutama di perkotaan dan desa-desa transisi. Dari lantai bale banjar yang lantai batu bata dan tanah, dulu Tetapi sekarang ketika bale banjar dikeramik, mungkin takut menginjak nanti kotor, lantas tidak pernah ada kegiatan jadi tidak tidak menghasilkan apa-apa. Padahal bale banjar sendiri dibentuk pada 10 abad yang lalu justeru untuk mempersatukan orang Bali diluar sekat-sekat keluarga, sekat-sekat keturunan, di luar sekat-sekat keyakinan keagamaan.
Memang perlu sedikit upaya untuk mengembalikan fungsi bale banjar seperti sedia kala. Namun yang penting adalah bahwa kita telah memiliki ruang publik dalam konteks desa yang begitu bagus. Artinya, kalau kita ingin menggagas sistem CLC seperti membikin PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) kita tidak perlu membangun baru lagi, yang biayanya pasti ratusan juta. Bangunan fisiknya kan sudah ada, nanti kita pikirkan tinggal ‘diisi’ apa disitu. Kemudian ruang yang terakhir yang juga dapat dimanfaatkan ialah wantilan pura. Rata-rata desa pakraman memiliki tiga buah pura. Sekarang orang Bali memfungsikannya hanya setiap 210 hari sekali atau 6 bulan yaitu ketika ada piodalan. Padahal biaya investasi bisa sampai ratusan juta rupiah. Kenapa kita tidak memfungsikannya sebagai ruang pembelajaran? Jadi apa yang kita namakan sebagai cyberspace dalam dunia internet, di Bali sesungguhnya sudah ada.•
*Sukma*
|