Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |

» Lebuh
»
Editorial
» Wicara
» Parahyangan
» Palemahan
» Pawongan
» Wawancara
» Pan Brayut
» Agenda
» Krama
» Pariwara

Pawongan Edisi 5, Juni 2004  

Borok

“Kasus pengucilan bayi kembar buncing di Padangbulia, Buleleng menambah panjang daftar ‘borok’ desa pakraman di Bali. Aku semakin tidak memahami logika berpikir masyarakatku sendiri. Kenapa justeru orang yang telah terkena beban musibah demikian berat harus menanggung lagi beban susulan dikucilkan orang sedesa? Bagaimana kamu bisa menjelaskan ini kepada kami, Brayut?”

Begitu surat bernada kecaman dari seorang kolega lama Pan Brayut yang bermukim di Prabu Mulih, Sumatera Selatan. Sumerta, sahabat Pan Brayut sejak jaman kuliah dulu di Jogja, memang memilih tinggal di rantauan, menjadi pegawai sebuah BUMN sejak sepuluh tahun silam. Pan Brayut ingat ketika Sumerta dulu menceritakan alasan; kenapa ia memilih mengejar karier di luar Bali tinimbang pulang kandang ke Bali. “Pulang ke Bali sama dengan menyerahkan diri ke penjara, siap diborgol adat dan ‘agama’ seumur-umur. Harus siap mekrama dengan segala beban yang memasung kebebasan pribadi. Aku lebih memilih untuk menjadi orang Bali di luar Bali. Memilih untuk nanduring karang awak, menjalankan ajaran agama Hindu menurut keyakinanku…” Dan Sumerta memang menempuh jalan hidup seperti yang dipilih puluhan bahkan ratusan sarjana asal Bali di luar Bali. Mereka, yang sejatinya adalah bibit-bibit unggul, emoh pulang ke Bali karena alergi dengan urusan adat dan mekrama.
Sumerta memang mempunyai lebih banyak pilihan dari pada Brayut. Sumerta tumbuh dalam keluarga di mana saudara lelakinya lebih dari seorang. Praktis ia bebas ke manapun hendak mengayunkan langkah mengejar karier. Sedangkan pilihan untuk Pan Brayut ketika itu hanya dua: pulang ke Bali, menggantikan posisi sang ayah menjadi krama banjar atau tetap tinggal di luar Bali tapi dengan resiko menjadi krama putung di desa sendiri. Ah!

Dan sejak keduanya berpisah surat-menyurat tetap menyambung komunikasi kedua sahabat yang sudah seperti saudara serahim itu. Dalam suratnya Sumerta yang kini sudah beristri dan beranak dua itu selalu menyelipkan kritik-kritik pedasnya terhadap desa pakraman. Ketika sebuah puri di Gianyar barat menggelar prosesi pelebon dengan mengerahkan massa dari desa adat di sekitarnya dua tahun lalu, Sumerta menilainya sebagai sebuah pembodohan massa yang luar biasa. “ Gaya hidup feodal puri yang bertemu dengan ciri khas komunalisme adat Bali menjadi sebuah tontonan theatrikal menggelikan dari luar Bali. Dan ini terpampang di jaman cyberspace, di mana seluruh masyarakat dunia sudah mengglobal dan aktifitas segelintir masyarakat Bali itu bisa dipelototi dari Amerika Serikat sekalipun! Berapa banyak dana, tenaga, dan waktu, yang dikorbankan hanya untuk menopang sebuah kewibawaan semu sebuah puri? Aku dengar banyak hotel yang komplain ke PLN saat prosesi berjalan karena aliran listrik PLN diputus gara-gara kabel-kabel listrik di jalan raya harus dilepas 24 jam. Bagaimana ini Brayut?”

Dan seperti kali ini, membaca kritik pedas sahabatnya itu Pan Brayut hanya bisa menghela napas berat. Tentu ia tetap akan berusaha menjelaskan sebatas yang dipahaminya, agar sang sobat tak kecewa. Pan Brayut sendiri dapat memahami paradigma Sumerta, apalagi sahabatnya itu berasal dari Ubud, sebuah desa wisata di Gianyar yang memang memiliki adat-istiadat yang kuat dan ketat. Adat yang memaksa warganya untuk mengeluarkan sedikitnya 11 juta per tahun untuk keperluan adat dan agama! Ini menurut sebuah majalah budaya terbitan Denpasar yang dibaca oleh Pan Brayut. (baca majalah Sarad edisi November tahun 2003)

Ya. Bagaimana lagi Pan Brayut bisa menjelaskan lagi dengan rasional, karena kenyataannya memang seperti yang diamati oleh Sumerta. Apalagi kasus terakhir tentang pengucilan kembar buncing. Weleh...weleh, dari sisi apapun, menurut Pan Brayut sendiri hal tersebut amat sangat memalukan! Dibungkus dengan alasan kultural, adat, atau apapun tetap orang Bali tak bisa menjernihkan soal yang satu itu. Bagi Pan brayut pengucilan kembar buncing seperti memutar kembali jarum jam peradaban Bali seabad ke belakang. Yaitu, menuju era di mana hal-hal seperti pengucilan bayi kembar buncing, mesatya, dsb.nya memang masih kerap terjadi dan dibiarkan. Namun kalau terjadi sekarang, di mana semua latar-belakang penyebab lahirnya kembar buncing sudah dapat dijelaskan dari sisi medis-biologis dengan terang-benderang, itu merupakan kejadian aneh, sebuah ‘hil yang mustahal’, tak terpikirkan !!

Tiba-tiba Pan Brayut merasakan kepalanya pusing, ratusan bintang-bintang berputar-putar di atas ubun-ubunnya. Matanya pun kian berat. Ia mengantuk. Lelah berpikir. Capai mencerna sesuatu yang semestinya ia pikirkan dalam kelahirannya sebelumnya. Wahhhemmm…! Pan Brayut tertidur di kursi beranda rumahnya. Sementara surat dari Sumerta jatuh dan diterbangkan angin bersama jiwa Pan Brayut ke alam mimpi.
[arida]

 

Bulletin Uluangkep 2003