Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |
» Lebuh
»
Editorial
» Wicara
» Palemahan
» Parahyangan
» Pawongan
» Artikel
» Krama
» Pan Brayut
» Gatra
» Agenda
Palemahan Edisi 4, Februari 2004  

Pejarakan,
Desa Penyelamat Lingkungan

Bali kekurangan areal hutan lebih dari 40.000 Ha, untuk memenuhi target hutan ideal bagi suatu wilayah.. Sementara pengelolaan kawasan hutan terhadang kepentingan ekonomis dan politis. Desa adat Pejarakan, menolak segala kepentingan itu dengan sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan.

Paradigma baru pembangunan kehutanan dan perkebunan adalah pengelolaan hutan yang berorientasi dari pengelolaan kayu (timber management) menjadi pengelolaan sumber daya. Atau dari sentralistik mengarah ke desentralistik dan berkeadilan. Sedangkan jika dilihat dari luas, Undang-Undang No.41 (tahun 1999 pasal 18) menyebutkan target kawasan ideal suatu wilayah adalah minimal 30% dari luas daratan. Artinya, 30% dari luas Pulau Bali (563.286,00 Ha) yaitu 168.985,8 Ha harus berupa hutan. Kenyataannya, luas hutan di Provinsi Bali hanya 130.673, 98 Ha. Atau masih kekurangan hutan seluas 41.726,8 Ha!

Kondisi ini seharusnya tidak terjadi jika masyarakat Bali memiliki kearifan lokal pelestarian lingkungan para leluhur yang bernilai positif. Dalam kajian antropolog Universitas Udayana (Unud), IGB Pujaastawa, pendirian pura di setiap penjuru Pulau Bali perlu dipahami lebih dari sekedar catatan historis. “Itu sebenarnya kearifan lokal pentingnya pelestarian lingkungan, terutama hutan, yang dibalut secara religius. Pura selalu berada di kawasan ditengah hutan, danau dan gunung” urai dosen Fakultas Sastra Unud ini saat tampil sebagai narasumber sosialisasi program penanganan konflik dan pembuatan peta batas desa di wantilan Pura Samuan Tiga, awal Februari lalu.

Akan tetapi kondisi ekonomis dan politis mengaburkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan bagi sekelompok masyarakat adat dan kelestarian lingkungan Bali pada umumnya. Masyarakat Desa adat Pejarakan, contohnya. Hutan Palengkong, telah lama dimanfaatkan sebagai sumber air, sumber bahan bangunan dan alat rumah tangga, tempat untuk perluasan areal pertanian dan permukiman, sumber energi kayu bakar, obat-obatan, sumber makanan, tempat menggembala ternak hingga kegiatan spiritual, bagi desa yang termasuk Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng ini.

Pentingnya Hutan Palengkong terancam kepentingan pihak investor dan oknum penjarah hasil hutan, hingga mengancam kelestarian hutan itu. Beranjak dari keprihatinan yang ada, seorang tokoh masyarakat Pejarakan, Gede Kawit Adnyana mencoba merintis sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan. “Sejak tahun 1999, saya mencoba merintis ini dengan beberapa anggota masyarakat agar masyarakat bisa ikut mengelola hutan produksi ini. Tidak hanya menggunakan tanpa melestarikan kembali”, ungkapnya.
Sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan ini merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan kerusakan hutan produksi yang ada di wilayah Pejarakan. Masyarakat diajak berperan serta dalam penanaman hutan kembali dan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan non-kayu, tanpa harus merusak hutan. “Secara pribadi saya mencoba membuat konsep, bagaimana masyarakat sejahtera dan hutan tetap lestari!”, imbuh Gede.

Sampai sejauh ini, peranan pemerintah yang berhubungan dengan kelestarian hutan hanya terbatas sebagai pemberi bantuan bibit tanaman. Pemerintah tidak membuat aturan sendiri dan tidak mengawasi pemanfaatan hutan di desa adat Pejarakan. “Terakhir, masyarakat Adat Pejarakan telah menuangkannya dalam bentuk Surat Perjanjian Kerjasama antara Desa Dinas, Desa Adat dan Dinas Kehutanan”, kata Bendesa Adat Pejarakan, Putu Darmika. Sehingga secara resmi, Dinas kehutanan telah menyerahkan ijin langsung kepada Desa Adat dan Desa Dinas Pejarakan.

Atas dasar itulah Desa Adat Pejarakan melaksanakan kegiatan penanaman hutan di lapangan. Penuh antusias, masyarakat Pejarakan menanam kayu yang bibitnya dari Dinas kehutanan. Ketut Nasa, salah satu krama Desa Adat Pejarakan, menuturkan keunggulan sistem yang sepenuhnya melibatkan masyarakat adat ini, “Sistem pengelolaannya sudah rapi. Bahkan telah dibentuk tim pengawas yang terdiri dari para pecalang dan komponen lain.”

Komang Lulut, anggota krama lainnya, membandingkan dengan sistem sebelum tahun 1970-an. “Sejak 1964, sistem pengelolaan menggunakan sistem kontrak kepada satu pengusaha yang menguasainya. Kalau sekarang semua bisa terlibat, bagi mereka yang berminat bisa ikut mengelola dan memanfaatkan hutan Palengkong ini. Ini membangkitkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya. Kami disini berusaha untuk membuat sebuah percontohan,” tegasnya.
Keseriusan krama Desa Pejarakan dibuktikan dengan mengadakan kunjungan ‘studi banding’ ke Lumajang, Jawa Timur. “Memang telah ada perubahan, keadaan hutannya menjadi membaik. Hasil studi banding ke Lumajang membuat kami semakin ingin mewujudkan hutan konservasi seperti Taman Hutan raya di Bedugul. Memang masih jauh, tapi akan kami mulai dari sekarang” tekad Ketut Nasa, bersama krama lainnya. Siapa menyusul?
--(Resi)--
 

Bulletin Uluangkep 2003