Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |
» Lebuh
»
Editorial
» Wicara
» Palemahan
» Parahyangan
» Pawongan
» Artikel
» Krama
» Pan Brayut
» Gatra
» Agenda
Lebuh Edisi 4, Februari 2004  

Konfik Itu Wajar
Pada sebuah sesi acara Temu wirasa Batas Wilayah di Kecamatan Tegalalang, fasilitator pertemuan menyodorkan sebuah gambar kepada para peserta. Setelah melihat selama satu menit, para peserta diminta menyebutkan gambar apakah gerangan yang mereka lihat. Para peserta yang rata-rata adalah para bendesa tersebut ternyata mempunyai jawaban yang beragam. Sebagian ada yang menjawab bahwa gambar itu adalah sebatang pohon, ada pula yang menyebutnya cangkir terbalik, ada pula yang melihatnya sebagai alam yang gersang. Lucunya, hanya beberapa orang saja yang melihatnya sebagai dua orang yang sedang (maaf) berciuman.

Tentu, fasilitator diskusi saat itu tidak sedang mengajak para peserta sekedar bermain-main. Setelah melakukan, dengan melihat gambar tadi dan menyebutkan apa yang dilihat (mengungkap data), lalu fasilitator mengajak seluruh peserta untuk belajar dari kasus tersebut (analisa), mengapa hal tersebut dapat terjadi? Mengapa dari gambar yang sama penglihatan yang dihasilkan bisa berbeda-beda? Terakhir dari hasil analisis bersama, semua peserta mengambil hikmah dari kasus sederhana tersebut (refleksi).

Para bendesa menyatakan bahwa perbedaan tersebut akibat dari perbedaan sudut pandang masing-masing peserta ketika melihatnya. Peserta yang lain menyebutkan dalam bahasa yang agak berbeda,” Tergantung dari latar belakang kita masing-masing, kalau kita petani maka kita cenderung menyebutnya sebagai pohon, kalau kita pemilik restoran tentu jawabannya adalah cangkir…” Bapak itu betul, ini juga tergantung dari isi kepala (pikiran) setiap orang yang melihat gambar tersebut.

Demikianlah, seluruh peserta dapat belajar dari media yang sederhana. Ternyata, sama seperti kesan berbeda yang kita tangkap dari gambar yang sama, masyarakat melihat situasi sosial dan politik secara berbeda pula. Latar belakang kita menuntun kita untuk melihat sesuatu dengan cara tertentu.

Tentu ada perbedaan sudut pandang yang tidak dapat dihindarkan, dan itu dapat memperkaya kita. Ketika masyarakat mempelajari suatu maslah secara bersama mereka sering menganggap bahwa, karena setiap orang memiliki fakta yang sama, mereka semua pasti akan sampai pada analisis yang sama. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Kebulatan suara bahkan lebih mustahil lagi jika kita mempertimbangkan bahwa, selain perbedaan-perbedaan ‘alami’ itu, ada perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor lain : status, kekuasaan, kekayaan, usia, pendidikan.

Jadi, amatlah wajar apabila terdapat sekian banyak perbedaan-perbedaan pandangan dalam masyarakat. Inilah yang dinamakan konflik, ketika ada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan perbedaan sasaran. Perbedaan-perbedaan pandangan dan tujuan sering dipandang sebagai masalah yang menghambat pencapaian tujuan bersama. Padahal, apabila perbedaan pandangan tersebut dapat dikelola dengan bijak ia akan menjadi kekuatan yang mempercepat pencapaian tujuan bersama.
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik merupakan bagian dari keberadaan kita. Yang tidak wajar adalah apabila konflik berubah menjadi kekerasan (anarkis). Ini yang harus kita hindarkan bersama.
 

Bulletin Uluangkep 2003