Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |
» Lebuh
» Wicara
» Palemahan
» Parahyangan
» Pawongan
» Artikel
» Krama
» Pan Brayut
Artikel Edisi 3, Desember 2003  

Konflik Bali Tempo Dulu
Oleh Ketut Sumarta, Pemimpin Redaksi Majalah Gumi Bali-SARAD
Ketika terjadi kudeta internal di Gelgel selama 35 tahun, hal itu menyebabkan kesatuan Bali dari satu kerajaan, dari satu provinsi pecah menjadi raja-raja. Raja-raja kecil ini, astanegara, telah saling serang antar kerajaan.

Pada zaman Bali Kuno, telah ada prasasti yang mencantumkan pernah terjadinya konflik massal antar banjar di Bali. Prasasti 002 Bebetin A-1 pada tahun 818 Saka(896 Masehi atau 1107 tahun), menulis tentang terjadinya konflik masal. Tetapi dalam prasasti tersebut belum disebutkan pasti siapa penguasa waktu itu yang mengeluarkan prasasti tersebut. Belum pasti juga bagaimana latar belakang hingga menyebabkan timbulnya konflik tersebut.

Prasasti yang telah jelas mencatat keberadaan konflik masal tersebut salah satunya adalah prasasti Cempaga C. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Sri Mahaguru, tahun 1264 saka atau1342 M, atau kira-kira sebelum Bali kemudian dikuasai oleh Majapahit. Era menjelang kehancuran kerajaan Bali kuno. Dalam prasasti tersebut ditulis bahwa saat itu Desa Cempaga dan Sangkuriang telah melakukan kekerasan massal dengan perencanaan. Mereka mengurung satu desa, membakar dan merampas harta milik penduduk desa.

Penyebabnya adalah dominasi satu kelompok desa terhadap desa lain.
Ada satu hal penting berkaitan dengan prasasti tersebut. Konflik tersebut ditulis dalam sebuah prasasti, yang kini sama dengan lembaran negara. Itu menunjukkan bahwa konflik tersebut berskala besar. Jika sampai sang penguasa, raja, mengeluarkan sebuah prasasti, itu berarti peristiwa itu tergolong besar. Sehingga saat itu raja sendiri turun tangan langsung menyelesaikan masalah dengan mengambil sebuah keputusan.

Fenomena menarik bila kita mempelajari manajemn konflik di era Bali Kuno tersebut, yakni sang angawa rat (raja) berperan sebagai fasilitator dalam menyelesaikan masalah. Dengan cara/tatacara; pertama, diutus seseorang yang kini dapat diibaratkan sebagai aparat berwenang, untuk mengumpulkan data. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan itu, langkah kedua diadakan rapat, sebelum akhirnya raja mengambil keputusan.

Keputusan-keputusan yang diambil Bali Kuno tersebut, salah satunya tentang perebutan batas desa adalah dengan memekarkan sebuah desa menjadi dua desa terpisah, seperti kasus antara Cempaga dan Tumpuhyang. Dua desa itu dipisahkan, tidak lagi berada dibawah satu desa Tumpuhyang.
Akibatnya, keputusan seperti itu disatu sisi memang seperti menyelesaikan masalah tetapi menurut saya yang muncul adalah rivalitas. Kedudukan dua desa tersebut menjadi sejajar. Hingga kini cara pengambilan keputusan penyelesaian konflik batas desa dengan pemekaran desa tetap masih diterapkan. Kalau misalnya terjadi konflik internal dalam satu desa dengan desa lain yang dilandasi rasa tidak puasatau factor lain, akhirnya jalan keluar yang diambil adalah dengan memisahkan diri, atau pemekaran desa. Sehingga dari semula banjar menjadi desa adat. Masing-masing membuat kahyangan tiga sendiri.
Raja pun mendominasi pemungutan pajak. Semangat juang dipergunakan bukan dalam hal positif seperti kemajuan, atau meraih suatu prestasi tertinggi. Akan tetapi untuk bersaing, saling mengalahkan, hingga menyebabkan timbulnya kutub-kutub atau kelompok. Itu hal yang dapat kita pelajari dari system manajemn konflik pada zaman Bali Kuno.

Zaman Gelgel, jarang ditemukan sumber prasasti yang menulis tentang keberadaan konflik. Akan tetapi hal itu tidak berarti tidak ada konflik. Seperti pesan pemuka agama, Manusa ya, Dewa ya, manusia dimanapun dan kapan pun memiliki potensi konflik dalam dirinya.
Saat zaman Gelgel, diciptakan semacam musuh bersama. Ada musuh bersama untuk memperluas teritori kerajaan. Rakyat Bali diajak berperang untuk memperluas wilayah. Sehingga semua energi tercurah untuk tujuan yang sama.

Kini dapat kita saksikan kembali konflik di Bali semakin banyak, jauh lebih banyak dari pada era zaman Gelgel. Sebagaimana catatan sejarah, ketika terjadi kudeta internal di Gelgel selama 35 tahun, hal itu menyebabkan kesatuan Bali dari satu kerajaan, dari satu provinsi pecah menjadi raja-raja. Raja-raja kecil ini, astanegara, telah saling serang antar kerajaan.

Ini yang menyebabkan Belanda walaupun menghabiskan waktu sekitar satu abad, dari abad 18 hingga abad 19, atau awal abad 20, tidak pernah mendapatkan perlawanan rakyat se-Bali. Yang melakukan perlawanan adalah kerajaan. Bahkan ketika Badung ingin mengadakan perlawanan , kerajaan lain membujuk raja Badung untuk menyerah saja. Tidak ada musuh bersama se-Bali. Akibatnya apa? Sejak abad 17 mulai ketika kita pecah menjadi kerajaan kecil, astanegara, akhirnya kesatuan bali hilang.
Bali waktu itu sebatas Mengwi, Badung, Klungkung. Gianyar. Bali ketika itu jelas tidak memiliki agenda bersama yang bernuansa ke-Balian. Ironisnya, yang mempersatukan kita di Bali justru kekuatan pihak luar. Datang Belanda, Belandalah yang mengintegrasikan. Raja-raja se-Bali tersebut berhenti bertikai ketika kemudian dipimpin oleh Belanda. Tapi setelah 1908, Puputan, Belanda menguasai Klungkung, Belanda menguasai dengan pemerintahan tidak langsung . Kekuasaan masih pada raja-raja walaupun masih sebatas kekuasaan boneka. Tapi Raja-raja damai!

Tahun 1918, raja-raja tersebut dipersatukan di Pura Besakih, disumpah. Isi sumpahnya; untuk melestarikan Besakih. Karena Gunung Agung meletus tahun 1917, ada tranggapan-tanggapan dari masyarakat, dari kerajaan-kerajaan, karena Belanda tidak memperhatikan Besakih, dengan Ida Betara yang berstana di Gunung. Gunung Batur juga meletus luarbisa. Hingga tahun 1918, raja-raja disumpah. Untuk memperhatikan persembahan di Besakih. Raja-raja kita di Bali itu bersatu menghambakan diri mengakui kekuasan Belanda. Mereka tidak akan melakukan pemberontakan terhadap Belanda. (disarikan dari paparan penulis ketika diskusi terbatas Uluangkep-Banjar Bali di ARMA, Ubud tgl 15 N0vember 2003)
 

Bulletin Uluangkep 2003