Home | Uluangkep | Buku Tamu | Bulletin |
» Lebuh
» Wicara
» Palemahan
» Parahyangan
» Pawongan
» Krama
» Pan Brayut
» Pikobet
Pawongan Edisi I, April 2003  

Mengatur Krama, Menata Pawongan
Desa adat sebagai ujung tombak masyarakat Bali, mampukah menangani terpaan beribu masalah?
Bukan soal krama tamiu saja, beragamnya pengaturan krama desa juga pokok masalah.


" Uluangkep, Ni Made Wawi Adini

Ada warga kami di Teges Kanginan masuk wilayah Tengkulak. Ada juga warga Tengkulak yang di Teges Kanginan. Kalau peraturannya diterapkan sekarang, krama niki negen adat. Jika sudah negen adat, makin sulit. Banyaknya krama yang saling seluk ini menyisakan tanda tanya bagi Tuarsa, bendesa Teges Kanginan Ubud. Kalau boleh, ia justru menginginkan agar warga yang bertempat tinggal di perbatasan tidak mabanjar kalih karena akan mengharuskannya ngayah di kahyangan tiga di dua desa adat. Ternyata, kenyataan masih belum seperti diharapkan Tuarsa. Kini, belum ada rumusan tentang pengaturan krama desa, terlebih dengan tidak adanya wadah bersama untuk berembug membicarakan masalah-masalah yang timbul. Dengan begini bukan tidak mungkin masalah-masalah serupa akan membumbung terdiam menunggu hentakan yang lebih dahsyat.
Sekitar abad ke-9 sampai ke-14 , masyarakat Bali mulai mengenal kraman, sebuah kelompok masyarakat desa di Bali yang direka kemunculannya telah ada ketika jaman Bali Kuna, sebelum kedatangan raja-raja turunan Majapahit. Seiring dengan perjalanannya, desa adat di Bali mulai mengalami tantangan berat. Tak hanya persoalan reformasi yang sejak lima tahun lalu telah mengumandang. Namun, mulai bergeser ke soal yang lebih berat yakni globalisasi dan derasnya gelombang modernisasi. Permasalahan terakhir ini mengharuskan desa adat untuk introspeksi dan mencari strategi dengan segera. Sebelum kenyataan akan menggilas dan meniadakan keberadaan desa adat.

Krama terdiri dari krama nuwed dan krama tamiu. Tuarsa merasakan betul masalah pengaturan krama ini berbuntut panjang menyangkut ayah-ayahan. Lebih baik kita buat kesepakatan tentang krama tamiu. Mari berpikir dengan jernih, jangan seperti raja kecil. Kita ini hidup di NKRI, Bali bukan Negara Bali, dengan tegas Sarna, bendesa Taman Kaja Ubud menyampaikan keluh kesahnya. Pada pertemuan para bendesa di kecamatan Ubud (27/1), ia begitu mengkhawatirkan masalah krama tamiu ini menjadi kompleks. Tiap orang dari manapun asalnya berhak mencari nafkah. Disinilah lahir ketimpangan antara menegakkan awig-awig milik desa dengan aturan yang berlaku secara nasional di wilayah Indonesia.
Ida Bagus Raka lurus-lurus saja. Ia sudah menjalankan awig-awig, siapapun yang hendak memasuki wilayah desanya diharuskan melapor ke banjar terlebih dahulu diikuti dengan pemberitahuan di tingkat desa. Khusus bagi krama yang merantau, bendesa Siangan Gianyar ini tinggal memberlakukan awig-awig khusus krama yang merantau. Mereka ini barangkali hanya segelintir bendesa di Bali yang memiliki kesempatan untuk mengemukakan masalah. Tuarsa, Sarna, Raka ataupun bendesa lainnya mulai kalang kabut diterpa persoalan kedudukan krama dan ayah-ayahan di tengah-tengah serbuan persoalan yang demikian banyak.

Perhelatan tentang krama ini begitu erat dengan hak seseorang dalam mencari penghidupan. Manakala ia memutuskan merantau dari desa tempat ia tinggal pada saat itulah desa adat harus kritis menyikapi kedudukan krama beserta ayah-ayahannya. Karena menyangkut hak ekonomi seseorang, inipun secara sosial menimbulkan kecemburuan. Misalnya, satu keluarga yang telah memutuskan merantau ke tempat lain. Ia tetap memiliki kewajiban ngayah di adat dengan digantikan orang lain berdasar kesepakatan keluarga. Tatkala keluarga yang merantau ini telah meraih kesuksesan secara ekonomi bukan tak mungkin akan muncul kecemburuan pada keluarga yang ditinggalkan. Apalagi ditambah dengan sifat acuh pada adat. Mulailah muncul konflik dalam keluarga yang merembes pada konflik antar krama. Hal-hal kecil semacam ini bukan tidak diurus oleh desa adat. Sekecil apapun konflik di desa itu ia telah menjadi beban bagi keberlangsungan adat itu sendiri. Contoh lainnya, pernikahan. Pernikahan sah bila telah menikah secara adat dan agama. Di kecamatan Tegalalang muncul masalah pernikahan antar agama namun kedua mempelai tidak menganut agama sama sementara mereka minta disaksikan dari pihak adat. Di satu pihak, pernikahan bisa dikatakan tidak sah secara adat bila pengantin itu berbeda agama. Di pihak lain, ia tinggal danmenetap di wilayah desa adat.
Harus diakui, krama yang menempati wawengkon desa ternyata memunculkan masalah. Prilaku-prilaku baru yang muncul setiap harinya terkadang belum termuat dalam awig-awig. Inilah kenyataan. Anak Agung Gede Putera tidak membenarkan belum adanya pengaturan tentang krama desa. Mantan bupati Gianyar yang kini menjadi bendesa Pejeng ini memang mengakui masalah krama desa jumlahnya menumpuk diikuti dengan beragamnya pengaturan tentang krama desa. Akibatnya, jalan keluarnya tak bisa disamakan. Kendati demikian, peluang yang bisa diraih yakni mengupayakan standarisasi pengaturan krama desa oleh organisasi atau forum bendesa di tingkat kabupaten apapun namanya. Sebagai ketua Kelompok Kerja (Pokja) Bendesa Kabupaten Gianyar, Pokja ini baginya memiliki peluang untuk mencari gagasan baru dalam menyelesaikan kendala-kendala desa adat yang saat ini dihadapi. Kasus warga yang saling seluk bisa dibahas bersama-sama. Diselesaikan dengan pendekatan secara administratif dan tetap memikul kewajiban ngayah.

Krama Tamiu
Jauh sebelum Peraturan Daerah (Perda) N0. 3/2001 dikeluarkan, awig-awig desa adat sudah melakukan respon terhadap pendatang. Hal ini bisa dibuktikan dengan istilah krama tamiu. Satu pokok yang membuatnya berbeda dengan kondisi sebelumnya yakni dulu krama tamiu itu berasal dari dura desa dan dura kota, sekarang dura negara. Pertumbuhan pembangunan pariwisata di Bali semakin mempercepat kedatangan orang-orang diluar Bali tersebut.
Kian meledaknya isu pendatang ini dikait-kaitkan dengan bom yang meledak 12 oktober 2003 silam, di kawasan pariwisata Legian, Kuta. Dan tak jarang, oleh beberapa oknum, dimanfaatkan sebagai ajang menarik dana. Jadilah masalah pendatang itu milik Bali. Bukan Denpasar, Badung atau Gianyar saja.
Soal tamiu, dari awal sudah masalah karena misi kita bersama belum jelas. Kita mau meniadakan tamiu, mengatur, menggali dana lewat tamiu atau memeras tamiu? Pertanyaan Wayan P. Windia ini kian menunjukkan ketidakjelasan siapa yang disebut tamiu. Namun sudah terburu-buru membuat aturan. Jika Gianyar mau menertibkan tamiu, maka di Denpasar mau meningkatkan PAD lewat tamiu, kritik Windia. Tak heran melihat dampak yang disebabkan adalah: kebingungan.
Contohnya, Wayan Gunarta. Sebagai bendesa Bukit Batu Gianyar ia menaruh harapan besar atas desa pakraman. Seiring dengan harapan itu ia menandaskan ada taruhan besar yang akan hilang. Pertanyaan yang ia ajukan, siapa yang berhak memutuskan awig-awig? Dari pertanyaan ini ia merasakan ketidakadilan status hukum adat ketimbang hukum nasional yang berlaku. Awig-awig sudah dirembugkan, dipasupati. Didalamnya sudah termuat aturan-aturan bagi pendatang yang memasuki wawengkon desanya. Apalagi investor yang hendak membangun tempat atau fasilitas pariwisata misalnya. Tiba-tiba, awig-awig tak sama sekali berarti dibandingkan dengan ijin yang sudah dikantongi.
Jika ada pendatang membeli tanah di desa dan tanah tersebut dibangun mushola tanpa musyawarah. Bagaimana cara saya mengatasinya? tanyanya lagi. Saya belum mengerti dimana saya harus bertanya jika ada permasalahan seperti ini, kepada Pak Lurah atau Pak Camat? Bagaimana tindak lanjutnya?

Agak ekstrim, Wayan Mudiarta dari Ubud menyetujui tindakan pemerintah dalam penyaringan penduduk liar pada pintu-pintu masuk menuju Bali seperti pelabuhan Gilimanuk. Bali kian jenuh dan padat. Penertiban pendatang memang perlu diberlakukan hanya saja bagi Wayan Udiana tindakannya harus simpatik dari aparat. Pekerja seni asal Negara yang lebih dikenal dengan Nanoq ini mengkuatirkan terjadinya konflik. Daerah perikanan di Pengambengan, Negara tercatat hingga kini mempekerjakan orang non Bali sebagai buruh pikul. Oleh aparat, mereka dicegat di pintu Gilimanuk karena urusan identitas. Prediksi Nanoq, bukan tak mungkin masyarakat ini (seperti orang Jawa) akan merasa tersinggung dan dendam. Lalu siapa yang akan kena? Ya Jembrana, jawabnya. Belum lagi harga yang dikenakan, ada sampai bernilai 150 ribu rupiah.
Untuk menyelesaikan masalah ini, I Ketut Roteadhi, bendesa Tegal Tamu mengusulkan pembuatan Perda tingkat kabupaten. Namun, besar biaya hendaknya dikembalikan ke masing-masing desa adat. Pendatang diperlukan untuk tenaga kerja, alasannya. Biaya terlalu tinggi justru membuat macet roda ekonomi Bali. Wayan Suralaga asal Gianyar terang-terangan mencela pengaturan krama tamiu yang berbau diskriminatif. Apalagi kalau ujung-ujungnya mengumpulkan duit.

Alhasil, konflik yang diramalkan para bendesa tadi tak bisa dihindari bila tak segera duduk bersama mencari jalan keluar. Konflik saling mengenakan Kipem (Kartu Identitas Penduduk Musiman) itu sudah bermunculan. Bayangkan, kata Windia, jika sekarang saudara kita di Karangasem akan membalas dengan mengenakan Kipem bagi mereka (orang Denpasar) yang hendak nangkil ke Pura Besakih. Itulah pentingnya organisasi, tambahnya. Bersama-sama merumuskan Bali. Selama ini orang Bali welcome pada orang berduit tapi pemulung dilarang masuk. Saat berhitung soal pelestarian, tidak jelas siapa yang lebih besar merusak. Investor ataukah pemulung?
Definisi tamiu yang buram telah memberatkan krama Bali sendiri. Tamiu Bali (Hindu) yang tinggal di desa, aturannya berbeda dengan yang non Hindu. Karena tidak bisa disamakan, organisasi tadilah yang berkoordinasi untuk membentuknya, ingat Windia. Sekilas, tampak berat membuatkan rancangan peraturan tersebut. Tapi, bila taruhannya adalah Bali tak lagi ajeg, adakah saling berkoordinasi dalam wadah bersama itu masih terasa berat? *

 

Bulletin Uluangkep 2003