» Paruman
» Wicara Desa Adat
» Sastra Dresta
» Desa Dresta
» Loka Dresta
» Data Riset
» Temu Wirasa Bendesa Adat
» Catatan Pan Brayut
» Babad Bali
» Bali Aga
» Raditya
» Sarad Bali
» PHDI
» Hindu Indonesia
» Taman Gumi Banten
» Arsitektur Bali
 


.
  Home | Uluangkep | Bukutamu | Bulletin |   

Kearifan Tradisi Punah Ditelan Modernisasi

SAMPAI sekitar tahun 1970, tradisi unik yang merupakan akulturasi tradisi Bali dan Sasak masih kental di kalangan Hindu (dengan pusat di Puri Karangasem) dan warga muslim di kantong-kantong kampung muslim di Karangasem. Belakangan saat modernisasi sampai ke pelosok desa, kearifan tradisi itu mulai ada yang ditinggalkan.

Disebut hilang, karena tak ada generasi yang meneruskan. Setidaknya, hal itu dibenarkan tokoh masyarakat lingkungan Dangin Sema, Djalaludin Amin alias Dek Djalal dan Permana Wahyudi, A.Par. Kamis (14/10) lalu di Amlapura. Dek Djalal mengatakan saat masih muda dirinya masih sempat melihat tradisi ngandang di kalangan warga Nyuling dan Dangin Sema. Ngandang adalah tradisi mengarak suguhan masakan tradisional di atas dulang, dibawa/diarak keliling kampung. Dulang itu biasanya terbuat dari kuningan. Ngandang itu dalam rangka merayakan hari raya umat Islam, seperti Lebaran atau Idul Fitri. Makanan itu dikirab (diarak) keliling desa, usai salat Ied. Usai ngandang, makanan dibawa ke masjid, lalu digelar doa sebentar dan dilanjutkan makan bersama. Masing-masing menghadapi makanan di atas dulang. Saat makan bersama itu, ada satu dulang bertiga atau berlima, tergantung dari banyak sedikitnya makanan. Makan bersama dalam satu dulang berlima, diduga dikaitkan dengan lima rukun Islam.

Saat makan bersama itu, biasa saling tukar masakan masing-masing yang dibawa dari rumah. ''Saya pulang dari Aceh ke kampung asal di Dangin Sema tahun 1971, tradisi ngandang di Dangin Sema sudah hilang. Namun, di Kampung Nyuling tradisi itu ketika itu masih saya dengar. Saat Bupati Karangasem dijabat AA Gede Karang sekitar tahun 1969, tradisi ngandang masih terpelihara,'' kata Djalal.

Djalal menambahkan, akar dari ngandang dan makan bersama itu, yakni kebersamaan, persamaan dan kesederhaan. Tak ada perbedaan antara orangtua dengan anak-anak, apalagi tinggi rendah atas dasar kekuasaan atau status sosial, seperti kaya dan miskin.

Namun, Dek Djalal mengakui pada saat masyarakat mulai terkena ''virus'' modernisasi, semuanya mulai menghitung-hitung kegiatan yang lebih praktis atau efisien. Mulailah kearifan tradisi yang sebenarnya lebih erat bisa menyambung silaturahmi ditinggalkan. Sebagai gantinya, lahir kegiatan baru yang bisa dibilang sebagai bentuk baru -- yang lebih modern atau praktis dari tradisi ngandang itu. ''Saya mengira, tradisi ngandang ditinggalkan pada saat kita mulai merasa modern, lalu memilih melakukan hal-hal yang lebih praktis,'' kata Djalal yang juga Wakil Sekretaris MUI Karangasem itu.

Permana Wahyudi mengatakan, dulu warga kampung Nyuling dan Dangin Sema yang dikenal rutin menggelar tradisi ngandang. Misalnya, dalam rangka Mauludan. Saat ada hari raya Islam, tokoh puri juga menyumbang bahan makanan, seperti hewan kurban. Saat ada kegiatan seperti karya di puri, warga muslim di kedua kampung itu yang paling sering ngaturang ayah (membantu secara sukarela) ke puri. ''Kami di rumah masih menyimpan kaling (gentong tempat air minum). Ada juga jembang besar dari kuningan atau nare (nampan besar) dari kuningan yang biasanya dipakai untuk ngandang atau menyuguhkan makanan. Ranjang dari logam yang diduga pemberian raja juga masih ada,'' ujar Permana. Dia menduga tak berlanjutnya tradisi ngandang itu, lebih karena tak ada yang melanjutkan. Orang sepuh (tetua) sudah renta, bahkan banyak yang telah meninggal, sementara generasi mudanya tak bisa lagi melanjutkan karena berbagai alasan.

Namun, baik Djalal maupun Permana mengatakan saat berbuka puasa, warga muslim di Karangasem melakukan buka puasa bersama di tiap masjid. Makanan dibawa ke masjid, berasal dari sedekah orang-orang yang berpunya. Soalnya dipercaya, pada bulan Ramadan, makin banyak bersedekah dan bisa dinikmati kian banyak orang, diyakini akan memberikan pahala yang lebih banyak. ''Setelah tradisi ngandang ditinggalkan, kini tradisi berbuka puasa bersama di masjid pada bulan puasa dan saling mengunjungi saat Idul Fitri yang kental,'' kata Djalal.

Kembalikan Silaturahmi

Sementara itu, Kepala Dusun Nyuling Desa Tegallinggah, Karangasem, Mahrif menyampaikan saat dihubungi di rumahnya Jumat (15/10) kemarin, sudah tak tahu kalau pernah ada tradisi ngandang. Namun, dulu saat kepemimpinan Bupati AAG Karang hubungan warga Kampung Nyuling dengan Puri Karangasem sangat erat. Saat ada upacara di puri, orang puri memberikan beberapa ekor kambing untuk disembelih dan diolah menjadi makanan. Setelah jadi, barulah makanan itu kembali dibawa ke puri.

Dia mengatakan leluhurnya berasal dari Lombok. Kemudian leluhur mereka diajak ke Bali. Karena tugasnya ikut membantu menjaga keamanan, Raja Karangasem pun memberikan lahan untuk tempat tinggal. ''Katanya, sebenarnya Raja Karangasem memberikan lahan di selatan Mapolres Karangasem sekarang. Entah karena pertimbangan lebih dekat dengan Puri Karangasem -- sehingga lebih dekat kalau mau tangkil ke puri -- leluhur kami pun memilih di timur kompleks Puri Agung Karangasem,'' kata Mahrif.

Puri Agung Karangasem persis cuma dipisahkan dengan Sungai Nyuling yang curam itu. Kampung itu kini lebih dikenal dengan Kampung Nyuling, diduga memakai nama Sungai Nyuling. Wanasari dulu, kata Mahrif, berupa hutan bunga (wana sari), terletak di timur Sungai Nyuling. Kampung yang kini berpenduduk 120 KK itu, berada di lembah dan tebing Sungai Nyuling yang curam. Karena lahan pemukiman sempit berada di lereng bukit dan sungai, sementara jumlah penduduk kian banyak, rumah penduduk pun berhimpitan. Jalan masuk ke pekarangan rumah penduduk berupa gang-gang kecil.

Mahrif mengatakan warganya kini sulit bertani. Soalnya selain lahan pertanian atau sawah sempit, air irigasi juga kian mengecil. Mata pencarian penduduk beternak, berdagang dan ada pula yang merantau ke luar desa, seperti ke Denpasar. ''Saya cuma membantu istri berusaha kecil-kecilan sebagai pembuat kue pita,'' katanya.

Dia mengatakan, belakangan mulai disadari kalau tali silaturahmi warga Nyuling yang muslim dengan umat Hindu di sekitarnya -- termasuk dengan keluarga Puri Karangasem -- tak sedekat zaman dulu yang seperti keluarga sendiri. Untungnya, saat kesadaran kalau hubungan mereka mulai disekat -- seperti akibat perbedaan keyakinan -- itu muncul, ada kerinduan untuk menjalin ''kemesraan''itu lagi.

Mahrif mengatakan penglingsir puri yang jadi dosen sejarah di Unud (Prof. Dr. AAG Putra Agung, S.U.-red) sudah menyampaikan beberapa waktu lalu, kalau ada nyama (keluarga) muslim mempunyai kegiatan agar menyampaikan undangan ke puri termasuk ke AAG Putra Agung. ''Kami sudah disarankan Bapak AA Putra Agung, agar mengundang keluarga beliau kalau ada acara,'' kata Mahrif.

Menurutnya, soal hubungan saling menghormati keyakinan masing-masing tetap terpelihara sejak dulu. Misalnya, saat umat Hindu Nyepi, warganya pun disarankan agar ikut menghormati dengan tak bepergian sampai ke luar kampung, agar tak mengusik suasana hari suci umat Hindu itu. Demikian sebaliknya, saat umat muslim di kampung itu ada kegiatan keagamaan seperti bulan puasa atau hari raya besar lainnya, umat Hindu pun menghormati. Misalnya saat ada pertemuan dan ada suguhan makan-minum umat Hindu pun minta izin kalau mau makan atau minum. ''Di kampung kami ini juga memiliki kelompok kesenian tradisional rebana. Saat ada kegiatan seperti kawinan, kesenian rebana ini pun ditanggap,'' katanya.

* budana

 

Sumber, Balipost 16 Oktober 2004

 

   
Copyright 2003 Desaadat.com