Tradisi-tradisi Tua yang tak Pernah Mati
MELEWATI jalanan pesisir pantai utara dari Kota Singaraja menuju Karangasem, di wilayah Kecamatan Tejakula, tentu akan dilalui deretan desa-desa tua dengan tingkah penduduk yang ramah dan bersahaja. Desa-desa tua itu, seperti Desa Julah, Pacung dan Sembiran. Selain memiliki berbagai keunikan adat dan budaya, jalanan desa yang rimbun dengan aneka pepohonan dan agak lapang dengan pemandangan bukit selatan dan sisi laut utara yang asri, sehingga membuat desa-desa ini sangat menyenangkan untuk diamati.
Selintas desa tua ini memang tak jauh berbeda dengan desa lain di Bali. Rumah berjejer rapi, telajakan dan pintu gerbang terbuka serta suasana akrab antarpenduduknya menampilkan suasana yang nyaris serupa dengan desa lain. Namun, jika sempat masuk ke pelosok pedesaan, apalagi sempat tinggal untuk beberapa waktu di desa itu, akan diketahui dengan rinci bahwa desa itu memiliki sesuatu yang berbeda, tidak sama dengan desa mana pun di Bali. Tradisi yang dijalani penduduknya khas; tradisi religius yang hanya milik masyarakat di desa kuno di Bali. Tradisi tersebut dijaga, dipelihara dan dijalani secara turun-temurun dari generasi ke negerasi. Warga masyarakat setempat tetap kukuh menjalankan kebiasaan adat-budayanya meski budaya baru tetap sulit dibendung untuk bisa masuk ke pelosok desa, termasuk ke Desa Julah, Pacung, dan Sembiran yang sudah berdiri sejak beratus-ratus tahun lalu itu.
Hal yang paling unik adalah cara masyarakat menghormati para leluhur atau anggota keluarga yang sudah meninggal. Seperti diceritakan Klian Desa Adat Sembiran Ketut Suardika, warga Desa Sembiran tak mengenal istilah ngaben. Begitu seseorang meninggal, hari itu juga mayat langsung dikuburkan. Tidak ada istilah mencari dewasa ayu dan mereka juga tabu untuk menginapkan mayat di rumah duka.
Penguburan dilakukan dengan upacara sederhana tanpa memerlukan persiapan yang panjang. Hanya, sebelas hari setelah penguburan dibikinkan lagi upacara sederhana. Mereka menyebut nyolasdinain, sebuah upacara yang disebut melas atma. Upacara ini dimaksudkan agar tak ada lagi ikatan emosi yang berlebihan antara warga yang meninggal dan keluarga yang ditinggalkan.
Lalu pada hari ke-42 digelar lagi upacara ngelumbah yang dilanjutkan dengan upacara ngundang setelah memasuki hari ke-84 setelah penguburan. Setelah seluruh urutan upacara itu, maka rangkaian upacara untuk leluhur itu dinyatakan tuntas. "Artinya leluhur sudah berada di alam yang suci," kata Suardika.
Rangkaian upacara itu tak pernah berubah hingga sekarang, meskipun desa lain di Bali pada umumnya melaksanakan upacara ngaben secara gegap-gempita dan melalui persiapan yang cukup panjang, melelahkan, dan tentunya dengan dana relatif besar. Yang berubah, kata Suardika, adalah cara penguburan mayat itu sendiri. Dulu, sebelum tahun 1960-an, mayat itu tidak dikuburkan hingga terbenam di dalam tanah, namun dibiarkan begitu saja di atas tanah. Hal ini mengingatkan kita akan tradisi yang mirip dengan yang ada di Desa Trunyan.
Namun, belakangan, meski melewati perdebatan yang panjang, tradisi membiarkan mayat di atas tanah di Sembiran akhirnya ditinggalkan warga. Ini pun setelah sejumlah lembaga ikut memberikan pengarahan tentang berbagai hal, seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Masalahnya lagi, kata Suardika, dulu ketika mayat-mayat dibiarkan tergeletak di atas tanah banyak muncul kejadian-kejadian tak mengenakkan. "Misalnya, tiba-tiba ada anjing yang membawa sepotong tangan manusia ke halaman rumah," katanya.
Hanya yang ''Mepaum'' Diaben
Selain upacara penguburan, banyak kebiasaan lama yang terus dipertahankan hingga kini, misalnya rangkaian upacara untuk kehidupan manusia dari sejak lahir hingga menikah. Untuk upacara menikah, mereka tetap mempertahankan pakaian adat khas Sembiran dengan kain tenun yang juga khas buatan desa itu. Untungnya lagi, usaha pertenunan tradisional khas Sembiran juga bisa bertahan hingga sekarang. "Sejumlah warga Sembiran masih menekuni kerajinan tenun Sembiran," kata Suardika.
Sementara Desa Julah yang lokasinya berdekatan dengan Desa Sembiran juga masih mempertahankan tradisi penguburan mayat yang mirip dengan Sembiran. Warga di Julah juga tak mengenal istilah membakar mayat, dan sama sekali tak mengenal adanya ngaben massal, ngaben ngerit atau sejenisnya. "Setiap warga yang meninggal langsung diaben," kata Klian Desa Adat Julah Ketut Sidemen.
Sidemen menceritakan, di desanya sama sekali tak dikenal ada pembakaran mayat atau pembakaran adegan (simbol roh). Lazimnya mereka menguburkan mayat. Jika mayat sudah terkubur, maka mayat tersebut tak boleh diaben kembali. Selain itu, tak sembarangan warga bisa diaben di Julah. Warga yang bisa diaben adalah yang selama hidupnya pernah menggelar suatu upacara yang disebut mepaum setelah mereka menikah. Mepaum ini semacam upacara sebagai simbol peresmian si pengantin baru telah menjadi warga adat. Biasanya untuk menggelar upacara tersebut diperlukan cukup biaya, sehingga tidak setiap pasangan mampu melakukannya. Namun, tampaknya tidak ada unsur pemaksaan untuk melakukan mepaum ini. Jika selama hidupnya warga itu tak pernah menggelar upacara mepaum (mungkin karena tak memiliki biaya) maka ketika meninggal warga tersebut tak boleh diaben. Meski tak diaben, mayat yang setelah dikubur selama 1 bulan 7 hari itu akan diupacarai lagi. Namanya upacara metuwun, sebuah upacara yang bermaksud mengantarkan roh kepada kawitan-nya.
Antara Desa Julah dan Sembiran ternyata memiliki hubungan kekerabatan yang kuat. Hingga sekarang kedua warga desa itu masih memiliki kepercayaan unik, bahwa warga Julah tak akan mau menikah dengan warga Sembiran atau sebaliknya. Sebab, dalam istilah Suardika, kedua desa itu memiliki hubungan keluarga. "Desa Julah adalah sepupu dari Desa Sembiran," tandasnya.
Di Desa Sembiran maupun Desa Julah yang ''bersepupu'' itu, sesuai peraturan adat warga tak boleh menikah dengan sepupu dan ipar. Jika hal itu dilanggar, warga yang menikah dengan sepupu atau ipar itu akan dibuang ke pinggiran desa. Bahkan, jika mereka diketahui berhubungan badan dengan keluarga sekandung atau sepupu, mereka juga diwajibkan untuk menggelar upacara besar dengan korban kerbau.
* adnyana ole
|