Kearifan Lokal, Tuntunan Pengendalian Diri
Masyarakat Bali menuai pujian di tengah petaka Bom Kuta yang membunuh ratusan manusia sekaligus menghancurkan mesin ekonomi yang bernama pariwisata. Pujian mengalir karena masyarakat Bali tak memilih jalan marah untuk menyelesaikan persoalan yang mendera. Bali pascabom justru menjadi arena kontemplatif di mana banyak aktivitas doa bersama digelar. Puncaknya berupa gelaran ritual religius yang disebut pecaruan Kariphubhaya.
Sejarawan Universitas Udayana Dr. I Ketut Ardhana menyebutkan pujian tidak lepas dari kemampuan masyarakat Bali mengendalikan diri untuk tidak merespons peristiwa negatif dengan sikap negatif. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini melihat bahwa kearifan-kearifan lokal maasyarakat Bali menuntun manusia-manusia Bali untuk melakukan proses perenungannya.
Menggelar upacara ritual sepeti pecaruan Kariphubaya mungkin bisa disebut sebagai bagian dari kearifan lokal. Di dalamnya terkandung makna substansi yang mengajak manusia Bali untuk merenung, mempertanyakan kembali mengapa tragedi harus terjadi. Kalaupun pada akhirnya ketenangan masyarakat Bali yang berlanjut hingga tetap kuatnya menahan diri ketika pelaku bom tertangkap, pujian adalah sebuah kewajaran.
Tetapi, 21 Oktober 1999 mungkin menjadi sisi lain dari masyarakat Bali yang tidak mampu mengendalikan dirinya. Amuk massa dengan membakar sejumlah kantor pemerintahan akibat kekecewaan di bidang politik menyisakan pertanyaan, ke manakah kearifan lokal manusia Bali ketika itu? Demikian pula dengan sejumlah rentetan peristiwa yang berbau politik lainnya yang menelan kerugian harta benda dan jiwa manusia.
Sekitar 39 tahun silam, tanah Bali bersimbah darah yang mengalir dari tubuh manusia-manusia Bali. Puluhan bahkan mungkin ratusan ribu manusia Bali terbantai oleh saudaranya sendiri akibat pergolakan politik ketika itu. Yang paling ironis dari fakta kelam yang menunjukkan kegagalan manusia Bali mengendalikan diri ini bahwa sebagian besar dari pembantai yang melumuri tangan-tangannya dengan darah sama sekali tidak memiliki pemahaman apa pun tentang urusan politik yang mengharuskan terjadinya pembantaian.
Kekuatan politik yang lekat dengan kekuasaan, memang sering menenggelamkan kearifan-kearifan lokal. Pemerintah orde baru, menurut Ardhana yang berbicara dalam seminar di Unud Senin (19/7) lalu, telah melakukan pengebirian atas kearifan-kearifan lokal.
Mengutip tulisan Maunati, Ardhana menulis dalam makalahnya bagaimana keberagaman etnis di tiap-tiap propinsi digantikan identifikasi yang sengaja diciptakan negara sebagai satu kelompok etnis utama yang memiliki kekhasan budaya. Kekuatan negara memang bisa menjadi "pembasmi" kearifan-kearifan lokal. Ketika kekuasaan dalam politik menjadi segala-galanya dalam benak pejabat-pejabat negara, penghargaan eksistensi lokal pun akan diabaikan. Ini berarti tidak ada lagi ruang di mana segala bentuk kearifan lokal sebagai kekuatan pengendalian diri komunitas masyarakat dibiarkan tetap hidup.
Karena itulah, upaya merevitalisasi kembali kearifan lokal, terlebih di tengah arus globalisasi menjadi mendesak dilakukan. Membangun kesadaran kolektif atas tantangan kehidupan di tengah situasi politik seperti sekarang ini menjadi begitu penting. "Semua komponen masyarakat harus melakukan upaya penataan kembali nilai-nilai kearifan lokal," kata Ardhana. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat harus bersama-sama mulai menyadari bahwa tantangan ke depan yang dihadapi tidak akan bisa dituntaskan tanpa adanya kemampuan melakukan pengendalian diri. Bagi Bali, di tengah berbagai macam gempuran tragedi dan gangguan akibat iklim politik, merevitalisasi kembali kearifan lokal berarti membangun kekuatan untuk mengendalikan diri. Peradaban Hindu yang hingga kini menjadi napas kehidupan manusia-manusia Bali menyediakan segudang nilai-nilai kearifan lokal.
Persoalannya terletak pada iktikad dan kemauan untuk mengimplementasikannya. Ketika menyentuh tataran ini, komitmen politik pemerintah di segala tingkatan sebagai representasi negara masih sangat diragukan. Tetapi, sesungguhnya masyarakat tidak perlu terpaku lagi pada kekuatan politik negara. Merevitalisasi kearifan lokal dan mengimplementasikannya sebagai kekuatan pengendalian diri bisa dilakukan saat ini juga. * winata
|