Desa Adat di Bali
Kokoh Kiprahnya, Rapuh Akarnya
ORANG Bali dan pemeluk agama Hindu di Pulau Dewata sangat patuh terhadap desa adatnya yang lazim disebut desa pakraman. Kepatuhan itu ditandai dengan kesetiaan warga pendukungnya membayar iuran upacara pura, iuran kematian, dan iuran lainnya. Khusus iuran upacara pura, nilainya bergantung jenis upacaranya dan ditentukan melalui rapat.
WARGA juga selalu aktif mengikuti berbagai kegiatan gotong royong, terutama untuk pelaksanaan upacara keagamaan. Lama kegiatan ini bisa sampai empat hari, bergantung dari jenis upacaranya.
Sementara masyarakat juga diwajibkan terlibat dalam upacara manusia seperti upacara kelahiran, potong gigi, perkawinan, hingga upacara orang meninggal.
Tidak sedikit orang Bali yang berada di perantauan, namun terus menjaga hubungannya dengan desa adat di kampung asalnya di Bali. Upaya itu antara lain ditandai dengan kunjungan secara rutin ke kampung asal, juga tetap memenuhi kewajiban sebagai warga desa adatnya itu.
Hubungan tersebut sangat berpengaruh terutama saat orang Bali di perantauan meninggal, namun harus ngaben di kampung asal. Keterlibatan warga kampung dalam upacara ngaben itu biasanya menjadi indikasi rasa simpati mereka atas sesamanya yang meninggal di perantauan itu.
Kepatuhan itu tentu saja karena kiprah desa pakraman (DP) dengan fungsi khusus mengurus berbagai hal berkaitan dengan adat dan agama (Hindu). Kalau ada warganya yang membangkang, akibatnya bisa sangat fatal. Sanksi paling ekstrem adalah pengucilan dari lingkungan desa adat. Kalau sampai dengan sanksi seperti ini, bersiap-siaplah menghadapi keputusan desa adat, yang antara lain menutup lahan kuburan bagi pembangkang bersama keluarganya.
Desa juga tidak akan melayani permintaan upacara adat atau upacara agama untuk lingkungan keluarga pembangkang.
Seorang rekan ketika pemilihan umum anggota legislatif di Bali, 5 April lalu, pernah nyeletuk. "Suara pemilih masyarakat Bali pasti bersatu kalau ada PDA alias Partai Desa Adat!" Pernyataan spontan rekan ini tentu merujuk keberadaan DP yang sangat ditaati warga pendukungnya.
SESUAI fungsinya mengurus berbagai hal menyangkut adat dan agama, posisi DP di Bali memang sangat kokoh, namun sesungguhnya bangunan DP itu akarnya rapuh. Gambaran terakhir menjadi nyata kalau DP harus dikaitkan dengan tanah adat di lingkungannya.
Demikian antara lain kecemasan yang mengemuka dalam sebuah seminar di Denpasar, pekan lalu, yang membahas problematik tanah DP di Bali. Narasumber yang tampil dalam acara itu adalah Made Kandra (tokoh adat Kabupaten Gianyar), Made Tisna (Kepala Badan Pertanahan Nasional/BPN Bali), Adnyana Sudibya (dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana), I Wayan Runa (dosen Teknik Arsitektur Universitas Warmadewa, Denpasar), dan I Made Pria Dharsana (notaris di Denpasar).
Bagi masyarakat umumnya, tanah selalu dilihat sebagai faktor ekonomi atau terkait aspek budaya, sosial, dan politik. Sementara di Bali, fungsi tanah juga mencakup keberlanjutan sekaligus kebertahanan agamanya (Hindu). Atau seperti dilukiskan Made Kandra, tanah di Bali merupakan fondasi hubungan sosial dan budaya.
Khusus di lingkungan DP, tanah adalah fondasi dari munculnya ayahan (kewajiban yang mengikat terhadap desa adat) sehingga persoalan tanah harus dibicarakan secara lebih mendalam demi kokohnya fondasi agama dan budaya di Bali.
Dalam lukisan agak berbeda, Dr Ir I Wayan Runa mengatakan, tanah bagi orang Bali adalah warisan leluhur. Warisan itu mengusung makna kehormatan, keharmonisan, keselamatan serta kebersamaan sehingga wajib dilindungi.
Sementara Adnyana Sudibya mengatakan, orang Bali memang harus menyatu dengan tanah. "Dalam hal status tanah, jangan kan terjadi pelepasan hak, alih fungsi saja langsung mengakibatkan pergeseran nilai budaya hingga terburainya ikatan krama (warga) di desa pakraman," ujarnya.
Kepala BPN Bali Made Tisna SH menyampaikan hal senada. Katanya, peranan tanah di lingkungan DP di Bali pengaruhnya begitu besar. Ini terutama bagi keberadaan desa dalam menumbuhkan kesadaran warganya membina kehidupan beragama. Tanah desa juga merupakan sumber kekayaan yang menjadi milik desa.
Berbagai gambaran ini memperlihatkan betapa menyatunya hubungan antara DP dan tanah adat dalam wilayahnya. Tanah dimaksud di sini sesuai peruntukannya lazim disebut sebagai tanah duwe (komunal), tanah laba pura, tanah pekarangan desa, dan tanah ayahan desa. Namun, di sisi lain DP ternyata bukanlah subyek hak milik atas tanahnya tersebut. Posisi yang rapuh itu terjadi karena DP, sebagai lembaga pendukung keberlangsungan adat, budaya, dan agama di Bali, hingga sekarang secara resmi belum berstatus badan hukum.
Kecuali tidak bisa bertindak sebagai subyek hukum, posisi DP semakin terpinggirkan oleh pendaftaran tanah melalui proses sertifikasi. Proses ini mengabaikan sistem kepemilikan komunal tanah adat di lingkungan DP. Selanjutnya, posisinya bertambah rapuh karena UU Perpajakan pun tidak mencantumkan DP sebagai pemilik atas sejumlah bidang atau jenis tanah tersebut dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
PULAU Bali dengan wilayah daratan seluas 5.632,86 kilometer persegi, secara administratif pemerintahan adalah sebuah provinsi yang kini berpenduduk sekitar 3,4 juta jiwa. Mereka tersebar di sembilan kabupaten/kota, 51 kecamatan atau 666 desa.
Sementara lembaga desa adat atau DP seluruhnya berjumlah 1.425 buah. Desa adat ini sejak lama berjalan sendiri-sendiri, atau tidak merasa terkait satu dengan yang lainnya sehingga sangat potensial terjadinya pergesekan antardesa adat itu. Potensi konflik telah diantisipasi setidaknya dengan dibentuknya lembaga khusus sebagai payung bersama desa adat. Lembaga itu bernama Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) untuk tingkat kabupaten/kota, dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) untuk tingkat provinsi. Khusus untuk MUDP, lembaga sekaligus kepengurusannya baru dikukuhkan sekitar empat bulan lalu.
Sebagaimana mengemuka dalam seminar, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 memang tidak mengakui DP sebagai subyek hak atas tanah-tanahnya. Akibatnya, tanah-tanah yang dikuasai oleh DP hanya bisa diberikan strata hak tertentu berupa hak pakai. Bila terjebak dalam sengketa, entah dengan individu, kelompok, pemilik modal, apalagi pemerintah, DP jelas dalam posisi sangat lemah dan kalah di hadapan hukum positif negara.
"Perjuangan kami, masyarakat adat Bali, kini adalah mendesak adanya pengakuan atas desa pakraman sebagai badan hukum hingga punya hak milik atas tanah desa," tutur Made Kandra. Guna mewujudkannya, masyarakat desa adat di Bali akan terus memperjuangkannya melalui berbagai jalur, seperti pemerintah daerah, DPRD, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya yang peduli.
Made Tisna mengakui, keberadaan DP dan asetnya atas tanah adat sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan adat, budaya, dan agama (Hindu) di Bali.
Untuk mencegah berbagai kerawanan yang mengancam, ia memang sependapat kalau DP berstatus badan hukum sehingga dapat bertindak sebagai subyek hak milik atas tanah DP. Untuk itu, diperlukan permohonan konversi hak atas tanah tersebut dari DP kepada BPN di Jakarta. (FRANS SARONG/ COKORDA YUDISTIRA)
|