Butuh Pola Investasi Tanpa Lepaskan Tanah
MAJELIS Utama Desa Pakraman tingkat Provinsi Bali bekerja sama dengan Yayasan Uluangkep dan majalah Sarad di Denpasar, 18 Juni lalu menyelenggarakan seminar di sebuah hotel di Sanur. Seminar itu melibatkan sejumlah narasumber, seperti Made Tisna (Kepala Badan Pertanahan Nasional/BPN Bali), Adnyana Sudibya (dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana), I Wayan Runa (dosen Teknik Arsitektur Universitas Warmadewa), I Made Pria Dharsana (notaris di Bali), dan Made Kandra (tetua adat Gianyar).
Seminar membahas berbagai persoalan seputar masalah tanah duwe (tanah komunal) desa pakraman (DP) atau desa adat di Bali. Selain rapuhnya posisi DP sebagai subyek hukum atas berbagai jenis tanah adat dalam wilayahnya, berbagai pihak di Bali-atau setidaknya mereka yang terlibat dalam seminar-juga dihantui kecemasan semakin derasnya peralihan fungsi tanah di Pulau Dewata.
Sebut saja temuan I Made Pria Dharsana yang sehari-hari sebagai notaris di Denpasar. Katanya, pesatnya pertumbuhan industri pariwisata di Bali ternyata juga berimbas pada masalah pengalihan fungsi tanah. Umumnya adalah lahan sawah atau tanah pertanian lainnya yang berubah menjadi kawasan perhotelan atau industri pariwisata.
Peralihan fungsi lahan sejauh ini rata-rata mencapai 1.000 hektar per tahun. "Belakangan atau menyusul diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak empat tahun lalu, lahan-lahan yang beralih fungsi di Bali bertambah luas, melonjak menjadi lebih kurang 3.000 hektar per tahun," ujar Dharsana.
Peralihan fungsi lahan ini sekaligus menggambarkan bahwa kibaran pariwisata yang belakangan menjadi lokomotif perekonomian Bali, di sisi lain justru terus menggerogoti areal lahan pertanian. Padahal, sektor pertanian, terutama persawahan, sejak lama menjadi sektor primer dalam perekonomian masyarakat Bali. Bahkan pada abad XIX, pasaran beras Bali merambah hingga ke negara-negara lain di Asia, bahkan juga Eropa.
Bagi Bali yang wilayah daratannya hanya 5.632,86 kilometer persegi, persoalannya tentu akan semakin runyam jika peralihan fungsi lahan diikuti peralihan hak atas tanah. Itu berarti sekaligus menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan adat, budaya, dan agama (Hindu), yang keberadaannya tidak terpisahkan dengan tanah dalam penguasaan DP.
Pria Dharsana mencatat, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda), alih fungsi tanah di Bali terus melonjak. Para petani pemilik atau petani penggarap semakin sulit mempertahankan lahannya akibat beban pajak bumi dan bangunan yang nilainya melonjak mengikuti pergeseran fungsi lahan. Begitu lahan pertanian berubah fungsi menjadi kawasan industri pariwisata, tagihan PBB melonjak tajam.
Sebagai contoh di daerah sekitar Kuta, Badung. Setelah menjadi kawasan wisata, harga tanah melonjak menjadi Rp 40 juta-Rp 60 juta per meter persegi.
Tagihan PBB pun ikut melonjak, karena di Bali nilai pajaknya dihitung dari nilai jual tanah. "Petani pemilik atau penggarap terpaksa harus menjual tanahnya itu karena pajaknya tiba-tiba melonjak hingga 150 persen," kata Dharsana.
Terungkap dalam seminar, lancarnya peralihan fungsi lahan di Bali terjadi akibat praktik perizinan yang memungkinkan pergeseran fungsi lahan. Praktik seperti itu menjadi bagian dari upaya menarik investor. Asumsinya, kehadiran investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Semangat yang didorong melalui pelaksanaan otonomi daerah itu di sisi lain ternyata secara diam-diam namun pasti justru menjadi ancaman serius keberlangsungan adat, budaya, dan agama di Bali.
BALI sebagai daerah tujuan wisata dunia sangat potensial bagi investor. Mereka-baik lokal, nasional, maupun internasional-berlomba-lomba menanamkan modal di Bali.
Menanggapi kian maraknya peralihan fungsi lahan, bahkan peralihan hak atas tanah di di Bali, tetua adat Gianyar Made Kandra mendesak Pemerintah Provinsi Bali segera menerbitkan sebuah peraturan daerah khusus tentang perlindungan tanah di Bali.
Penyusunan perda itu diharapkan melibatkan seluruh komponen desa adat di Bali, termasuk Majelis Utama Desa Pakraman. Ia juga mengharapkan agar proses perubahan hak atas tanah di Bali dengan persetujuan kepala desa adat (bendesa) setempat. "Harapan kami agar keterlibatan bendesa dalam proses ini menjadi salah satu persyaratan formalnya," katanya menegaskan.
Sementara Adnyana Sudibya melihat penataan Bali ke depan memerlukan perhatian serius-tidak hanya terkait persoalan pelepasan hak tanah DP. Persoalan lain yang juga menuntut penanganan serius adalah terkait dengan pengalihan fungsi lahan dalam investasi agar tidak sampai menggeser nilai budaya, filsafat serta simbol-simbol yang dipesankan para leluhur.
Jika harus terjadi perubahan dramatis sebagai akibat dari investasi, Adnyana Sudibya menyarankan supaya memilih mashab sosialis sebagai pendekatan dalam pengelolaan nilai ekonomis di DP. "Pendekatan ini adalah solusi ideal ketimbang mashab pasar yang tidak hanya akan merusak keharmonisan desa pakraman, tetapi juga menghancurkan nilai budaya masyarakatnya," ujarnya.
Agar pola investasi tidak berujung pada pelepasan hak atas tanah, terlebih dahulu harus dipahami perilaku investasinya. Perilaku paling menonjol dalam investasi adalah dengan modal kecil berharap akan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Menurut Adnyana Sudibya, yang paling ideal untuk investasi di Bali adalah pola kemitraan. Pola ini lazimnya mengenal tiga skema kerja yang disebut model konsesi, kontrak pengelolaan, dan leases.
Apa pun pola investasi yang disepakati, kemitraan antara investor dan pemilik tanah tidaklah diarahkan untuk mengalihkan kepemilikan sepenuhnya dari pemilik tanah kepada investor. Kemitraan yang dimaksud di sini-sebagaimana dijelaskan Adnyana Sudibya-adalah pemberian kewenangan kepada investor untuk melaksanakan sebagian atau seluruh kegiatan investasi tersebut. (ANS/COK)
|