Edisi Perdana, April 2003  
  Lebuh  
  Wicara  
  Palemahan  
  Parahyangan  
  Pawongan  
  Krama  
  Pan_Brayut     Pikobet  
Parahyangan
Agar Pura Swagina tak Dipralina
Karena ribuan hektar lahan pertanian beralih fungsi setiap tahunnya, puluhan pura swagina pun terancam tamat riwayatnya. Tak ada lagi penyungsungnya. Bagaimana solusi dari benang kusut persoalan pengelolaan pura swagina ini? Haruskah pura swagina terlantar sepanjang jaman?

" Uluangkep, Nyoman Sukma Arida

Pulau Bali sejak masa silam terkenal dengan predikat pulau seribu pura. Bahkan kalau dihitung dengan teliti keberadaan pura-pura tersebut mungkin lebih dari seribu pura. Apalagi kalau yang dihitung termasuk pura-pura kecil di berbagai pelosok desa-desa adat. Hitung saja, jumlah desa adat saja sekitar 1300-an, kalikan dengan jumlah pura di masing-masing desa adat, katakanlah setiap desa ada lima pura saja. Berarti total sudah ada 6500 buah pura. Ini belum termasuk pura-pura sad kahyangan serta dang kahyangan yang bertebaran di seluruh penjuru pulau Bali.
Namun apabila ditelisik lebih jauh. Apakah keseluruhan pura-pura tersebut ada dalam kondisi yang baik, ideal? Artinya, pura tersebut ada penyungsungnya, sehingga terawat dan bisa menyelenggarakan piodalannya nyabran enam sasih? Jawabannya ternyata bisa sangat beragam. Simak saja pengakuan Bendesa Gianyar tentang keberadaan sebuah pura swagina subak diwewengkon desa adatnya. Pura subak di desa tiang sudah lama tidak ada yang ngempon. Tanah sawah banyak yang sudah beralih tangan. Repotnya pemilik tanah baru belum tentu seorang petani. Ini sepatutnya bagaimana?, keluh Sudira, bendesa Kesian, Gianyar.

Masalah tak jelasnya pengelolaan pura swagina tidak hanya monopoli desa adat Kesian, Gianyar, ternyata. Di daerah berhawa sejuk, Payangan masalah sejenis telah lama ada. Simak misalnya pengakuan Bendesa Penyabangan, Payangan, I Made Darmaja, Sawah kami saat ini gencar diincar oleh investor. Akibatnya ada pura Subak yang tak ada lagi pengemongnya. Masih menurut Darmaja, hal ini kerap membuat konflik antar subak dengan desa adat. Tak semua kasus pengelolaan pura swagina menemui jalan buntu, memang. Di beberapa wilayah ada juga berujung pada solusi yang melegakan. Di Desa Adat Lodtunduh, Ubud, misalnya, seperti penuturan Mangku Gandra, solusi yang bijak muncul dari kasus sebuah pura Bedugul di sana. Hal ini terbit karena adanya kesadaran dari para pengemongnya yang terdiri dari para pemilik tanah baru untuk meneruskan menyungsung pura tersebut. Tak hanya ikut menyungsung, mereka malah sepakat untuk merehab beberapa bangunan pelinggih pura tersebut. Mereka memang terdorong karena kesadaran..., tegas Mangku Gandra. Tentu rada-rada susah menemukan kesadaran seperti halnya yang terjadi di Lodtunduh. Tidak juga bisa berharap banyak dari uluran tangan desa adat terdekat untuk mengempon pura swagina yang krisis penyungsung. Ini, mengingat masing-masing desa adat pada umumnya sudah memiliki kewajiban serta tanggung-jawab untuk mengempon beberapa buah pura.
Bisa jadi persoalan sejenis akan menjadi masalah yang cukup pelik di kemudian hari. Apalagi mengingat laju alih fungsi dan alih kepemilikan lahan yang demikian tinggi di Bali. Data teranyar menunjukkan dalam setiap tahun 1000 hektar sawah produktif beralih peruntukan menjadi fungsi-fungsi di luar sektor pertanian, seperti pemukiman dan perkantoran. Ditambah dengan distribusi kepemilikan tanah yang tersebar, hal ini akan menyulitkan dalam menjaga keajegan sebuah pura swagina, khususnya pura Subak.

Masalah ini menurut AA Gede Putera, Bendesa Pejeng yang juga Koordinator Pokja Bendesa Gianyar, memang sudah menjadi kekhawatiran sejak lama. Mantan Bupati Bangli ini bahkan mensinyalir sejak muncul usaha merintis museum subak di Bali pun kekhawatiran senada sudah pernah mengemuka. Sebagai langkah pencegahan Putera menawarkan solusi agar setiap pengalihan tanah subak harus dipersulit dengan pengaturan secara ketat dalam awig-awig subak. Agar tak mudah hilang tanah subak ini! sebutnya. Solusi ini bisa diterapkan dalam mencegah tergerusnya tanah subak, memang.

Namun bagaimana alternatif pemecahan dari benang kusut persoalan pura swagina ini?
Pralina saja pura-pura tersebut! cetus I.B. Pawana, Bendesa Tegallantang, Ubud. Pralina yang dimaksudnya adalah kalau memang sebuah pura swagina telah kehilangan penyungsungnya ya keberadaannya diakhiri saja dengan jalan memralina, diakhiri masa hidupnya. Usulan ini kontan mendapatkan tanggapan yang beragam dari peserta lainnya.
I Nyoman Gamia, Bendesa Sukawati adalah salah-satu yang kurang sependapat dengan usulan untuk memralina pura swagina yang sepi penyungsung. Ia menyarankan mengambil langkah-langkah yang lebih moderat, jalan tengah. Salah-satunya dengan mengalihfungsikan status pura swagina tersebut menjadi kategori pura yang lain. Menjadi pura puseh, misalnya. Toh yang disungsung di pura tersebut adalah Dewi Sri, shaktinya Dewa Wisnu. Jadi diubah saja statusnya menjadi pura Puseh... babar Gamia.
Jadi bagi Bendesa di sentra pemasaran barang-barang cindera mata kesenian ini tidak ada istilah di pralina. Pralina sebaiknya menjadi alternatif terakhir saja. Sanggahnya bernada diplomatis.

Pendapat yang agak berbeda juga dilontarkan oleh Bendesa Tulikup Klod, Nyoman Badjera. Ia juga menganggap pilihan untuk memralina itu sebagai jalan terakhir. Badjera lebih setuju untuk melibatkan para pemilik tanah yang baru dalam menyokong beban upacara di pura swagina bersangkutan. Para investor yang membeli tanah di desa kami bersedia berdanapunia untuk membiayai piodalan pura. Asal kita melakukan pendekatan dengan bijak. Yang membangun hotel pun mau membayar, kok...! tandasnya. Hanya Badjra kurang sependapat untuk mengubah status pura swagina menjadi pura puseh, Proses itu sangat sulit, risaunya.
Setelah melalui debat panjang yang cukup alot para Bendesa yang terhimpun dalam Kelompok Kerja Bendesa Gianyar akhirnya menawarkan empat upaya yang setidaknya dapat diusahakan sebagai langkah awal sebagai pilihan dalam memecahkan permasalahan tersebut. Empat hal yang coba ditawarkan oleh Kelompok Kerja Bendesa Gianyar tersebut, antara lain ; pertama, perlu ada upaya untuk mengklasifikasikan pura-pura swagina serta melihat aspek keberadaannya atau domisili. Kedua, tetap menjadi pura swagina yang disungsung oleh subak dengan diempon oleh warga yang membeli tanah. Ketiga, menjalin kerjasama antara desa adat dengan subak terutama dalam masalah yadnya (ngusaba desa dan ngusaba nini). Dan keempat, pralina pura swagina hanya menjadi alternatif terakhir, itupun harus berdasarkan kepada petunjuk Ida Anak Lingsir, para sulinggih.
Jadi, kalau memang masih ada yang mau mengurus pura swagina jangan buru-buru dipralina, biarkan saja! ujar AA Gede Putera, seperti mempertegas hasil kesepakatan para Bendesa lainnya.

Lalu bagaimana caranya, agar berbagai pihak mau tunduk serta mengikuti aturan yang telah dibuat?
Untuk menjawab tuntutan ini maka selanjutnya dirumuskan juga beberapa strategi dalam permasalahan pengelolaan pura swagina tersebut, di antaranya : pertama, perlunya forum bersama baik antar subak, maupun subak dengan desa adat. Kedua, melakukan revitalisasi terhadap awig-awig subak agar aturan-aturan awig subak dapat menghambat alih fungsi lahan sawah. Juga untuk melindungi tanah AYDS. Ketiga, pemerintah perlu membatasi pengalihfungsian tanah-tanah produktif menjadi pemukiman berdasarkan RUTRD (Rencana Umum tata Ruang Daerah). Keempat, pemerintah perlu memikirkan pembiayaan pura swagina yang tanah penyungsungnya telah dialihfungsikan atau ditinggalkan.
Tentu dibutuhkan komitmen semua pihak agar kesepakatan-kesepakatan elok yang telah dihasilkan ini membuahkan laku nyata.*
Bulletin Uluangkep 2003